Balitbangkumham Press https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress <p>Balitbangkumham Press adalah penerbit yang bernaung dibawah Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI</p> en-US Balitbangkumham Press Policy Paper Urgensi Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknik Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/121 <p>Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan produk hukum lainnya baik dilingkungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diperlukan adanya pejabat fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan pada unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam Pelaksanaan tugas dan fungsinya perancang peraturan perundangan membutuhkan petunjuk teknis agar dapat menjalankan tugasnya sesuai prosedur yang ditetapkan. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan sebagai instansi pembina sebagaimana diwajibkan untuk menyusun petunjuk teknis Jabatan Fungsional Perancang sebagai mana disebutkan dalam Pasal 50 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2021 Tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Namun dalam aturan yang ada belum rinci menjelaskan butir butir kegiatan Perancang Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut tujuan analisis ini adalah untuk melihat urgensi dikeluarkannya kebijakan mengenai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan dan substansi yang dimuat dalam draf Rancangan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan pertama, pentingnya dikeluarkannya kebijakan mengenai Pelaksanaan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan karena belum adanya pedoman bagi Instansi Pembina, Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan dalam rangka pembinaan, pengembangan dan peningkatan profesionalisme Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Kedua, pada muatan materi menghilangkan syarat pengangkatan dalam jabatan fungsional perancang peraturan perundang-undangan, yaitu pada kalimat “sehat jasmani dan rohani” untuk memenuhi hak bagi kelompok disabilitas. Ketiga, memuat&nbsp; aturan proses penyesuaian/inpassing secara rinci dan komprehensif untuk persyaratan dan tahapan Pelaksanaan. Berdasarkan hal tersebut untuk memperkuat pelaksanaan tugas perancang peraturan perundang-undangan maka rekomendasi yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan agar dapat menyusun dan merumuskan Rancangan Permenkumham tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan.</p> Ester Istianingrum Edy Sumarsono Oktaviana Oktaviana Maria Lamria Muhaimin Muhaimin Hilmi Ardani Nasution Ade Ruhanda Andana Wiyaka Putra Winda Astuti Nevey Varida Ariani Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Perlindungan Hukum melalui Jalur Non Litigasi bagi Masyarakat Adat https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/90 <p>Pada Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025, terdapat salah satu tantangan pada Kelompok Sasaran Kelompok Masyarakat Adat yaitu &nbsp;“belum memadainya perlindungan hukum bagi Kelompok Masyarakat Adat.” Hal ini berarti masyarakat adat belum memperoleh ha katas keadilan secara optimal, khususnya melalui jalur litigasi. Oleh karena itu mekanisme non litigasi menjadi alternatif untuk memperoleh hak atas keadilan &nbsp;&nbsp;mengingat mekanisme tersebut lebih luwes dan praktis digunakan. Adapun tujuan dari analisis isu kebijakan adalah untuk mengidentifikasi upaya pemberdayaan hukum bagi masyarakat adat dan mengetahui perlindungan hukum melalui non litigasi bagi masyarakat adat.</p> <p>Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari aspek pemberdayaan hukum, belum semua masyarakat adat memperoleh pengetahuan berupa penyuluhan, sosialisasi dan jenis lainnya, baik yang dilakukan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, Organisasi Bantuan Hukum maupun instansi/lembaga lainnya. Dilihat dari perlindungan hukum melalui jalur Non Litigasi, dapat terlihat bahwa telah terdapat perlindungan terhadap anggota masyarakat adat baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan melalui penyelesaian permasalahan melalui lembaga adat dengan proses mediasi dan musyawarah. Namun untuk penyelesaian permasalahan tertentu yang membutuhkan program bantuan hukum masih terdapat kendala dalam memperileh bantuan dari Organisasi Bantuan Hukum. Oleh karena itu terdapat &nbsp;dua alternatif Pilihan kebijakan&nbsp; yatu <strong>pertama</strong>, melakukan Evaluasi kebijakan Publik yang berpotensi merugikan hak masyarakat adat,&nbsp; baik berupa peraturan perundang-undangan maupun program/kegiatan yang dikeluarkan instansi/lembaga pemerintah. <strong>kedua</strong>, “Mendorong kebijakan, baik program maupun peraturan perundang-undangan&nbsp; yang memberikan perlindungan masyarakat adat. Setelah melakukan analisis terhadap beberapa alternatif pilihan kebijakan tersebut dengan menggungakan analisis SWOT, maka disarankan kepada Kepala BPHN dan Direktur Jenderal HAM untuk dapat menjadikan &nbsp;alternatif pilihan kebijakan kedua sebagai prioritas. &nbsp;</p> Yuliana Primawardani Donny Michael Yuditia Nurimaniar Rodes Ober Adi Guna Pardosi Sabrina Nadilla Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Pendaftaran dan Permohonan Fasilitas Keimigrasian bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda, Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian, dan Pengembalian Dokumen Keimigrasian Akibat Status Kewarganegaraan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/119 <p>Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.AH.10.01 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyampaian Pernyataan Memilih Kewarganegaraan Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda dan Permohonan Fasilitas Keimigrasian dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, diperlukan sebuah peraturan yang dapat mendukung pengintegrasian data, seperti semangat SPBE yang sedang digaungkan di Indonesia menuju Satu Data Indonesia. Tujuan dari penulisan <em>policy paper</em> ini adalah untuk memberikan rekomendasi kepada Ditjen Imigrasi agar dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik.</p> <p>Hal tersebut bisa dilakukan dengan dua alternatif, yaitu, pertama mencabut ketiga aturan yang telah ada dan menggantinya dengan peraturan baru yang mengakomodir kemajuan teknologi dan menyesuaikan dengan kebutuhan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, perlu dilakukan simplifikasi atau penyederhanaan dengan menggabungkan materi muatan pokok dari ketiga aturan yang telah dicabut untuk menjadi satu kesatuan aturan yang utuh. Alternative kedua adalah tetap mempertahankan kebijakan yang ada. Akan tetapi, kebijakan ini akan disertai dengan kelemahan berupa kurangnya klausul aturan yang mengakomodir tentang pemanfaatan teknologi.</p> <p>Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka rekomendasi yang paling ideal adalah dengan mencabut ketiga peraturan terdahulu dan diganti dengan peraturan baru yang bisa melandasi pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan pelayanan. Hal ini dimaksudkan agar peraturan yang baru dapat menjadi landasan hukum pelayanan Ditjen Imigrasi yang lebih efektif, efisien, dan sesuai kebutuhan masyarakat, kebutuhan organisasi dan sesuai dengan perkembangan teknologi.</p> Nevi Anggraeni Raharjo Muhaimin Muhaimin Citra Krisnawaty Maria Lusyana br. Ginting Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Kajian Urgensi Pewarganegaraan Khusus sebagai Solusi Anak yang Tidak/Belum Memilih Kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/122 <p>Sebagai negara hukum yang menganut paham Eropa Kontinental, aturan menjadi sangat berguna agar dipatuhi oleh warganegara. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 41 mengatur tentang anak hasil kawin campur, anak adopsi oleh orang tua WNA mempunyai kewarganegaraan Indonesia atau dapat disebut dengan kewarganegaraan ganda sebagaimana salah satu kewarganegaraan orangtuanya, atau anak adopsi oleh orangtua adopsi WNA berkewarganegaraan. Namun berdasarkan undang-undang, anak-anak tersebut harus sudah mendaftar atau didaftarkan oleh orangtuanya kepada Menteri Hukum dan HAM, agar kelak Ketika berusia 18 tahun atau telah berkawin ia dapat memilih kewarganegaraan. Pada kenyataannya baik anak yang sudah didaftar maupun yang belum didaftar hingga batas yang ditentukan tidak memilih kewarganegaraan, akibatnya ia kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Orang-Orang seperti ini sebenarnya sangat mencintai Indonesia dan banyak yang berdiam/bertempat tinggal di Indonesia namun oleh karena ketidaktahuan, kelalaian sehingga dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraan Indonesia.</p> Risma Sari Adi Ashari Eko Noer Kristiyanto Endah Anggraeni Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Urgensi Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Tentang Tata Cara dan Prosedur Harmonisasi Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Serta Dimensi Harmonisasi dan Digitalisasi Harmonisasi https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/120 <p>Pembentukan rancangan peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai Tata Cara dan Prosedur Harmonisasi Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, serta Dimensi Harmonisasi dan Digitalisasi Harmonisasi perlu diatur agar pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta tertib administrasi. Selain itu, dibentuknya rancangan peraturan menteri tersebut juga diperlukan untuk memberikan kepastian hukum atas standar baku dimensi harmonisasi yang mencakup asas-asas, teori hukum/dogma, dan juga fakta-fakta empiris.</p> <p>Harmonisasi rancangan peraturan sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2015 dan sudah terlalu lama dan telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 40 Tahun 2016. Namun peraturan tersebut memiliki banyak kekurangan sehingga harus dibentuk pengganti peraturan tersebut yang mengakomodir kebutuhan terkini.</p> <p>Dari fenomena yang terjadi, maka tujuan kajian ini adalah: untuk menganalisis urgensi pembentukan dan memberikan masukan terhadap materi hukum yang relevan dan untuk menyempurnakan isi dari Rancangan Peraturan Menkumham tentang Tata Cara dan Prosedur Harmonisasi Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, serta Dimensi Harmonisasi dan Digitalisasi Harmonisasi.</p> <p>Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa: urgensi dari pembentukan Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Tata Cara dan Prosedur Harmonisasi Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, serta Dimensi Harmonisasi dan Digitalisasi Harmonisasi merupakan satu-satunya cara untuk dilakukan agar bisa melaksanakan delegasi ketentuan dari amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan tetap memperhatikan prinsip efektifitas dan efisiensi.&nbsp;</p> Ulya Fajri Amriyeny Yuliyanto Yuliyanto Oki Wahju Budianto Rodes Ober Adi Guna Pardosi Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Penetapan, Pembinaan, dan Pengawasan Organisasi Notaris https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/88 <p>Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) sampai saat ini belum diterbitkan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai penetapan, pembinaan dan pengawasan Organisasi Notaris. Pada hal Pasal 82 ayat (5) UUJN mengamanatkan bahwa, ketentuan mengenai penetapan, pembinaan dan pengawasan Organisasi Notaris perlu diatur dengan Peraturan Menteri. Pada Pasal 82 ayat (1) UUJN juga mengatur bahwa Organisasi Notaris merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris. Hal ini merupakan wadah satu-satunya, maka pembinaan dan pengawasan Organisasi Notaris perlu dilakukan agar tidak ada penyimpangan dalam menjalankan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART), serta Kode Etik Organisasi Notaris. Berdasarkan hasil analisis, maka rekomendasi yang dapat disampaikan kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) perlu segera disusun Draf Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Penetapan, Pembinaan dan Pengawasan Organisasi Notaris. Usulan materi muatan yang perlu di masukkan ke dalam Rapermen Hukum dan HAM tersebut adalah: <strong><em>Pertama</em></strong><em>, </em>mendefinisikan beberapa hal; <strong><em>Kedua</em></strong><em>, </em>pengaturan Organisasi Notaris; <strong><em>Ketiga</em></strong><em>, </em>pengaturan pengurus organisasi; <strong><em>Keempat</em></strong><em>, </em>pengaturan terkait penetapan; <strong><em>Kelima</em></strong><em>, </em>pengaturan terkait pembinaan; <strong><em>Keenam</em></strong><em>, </em>pengaturan terkait pengawasan; dan <strong><em>Ketujuh</em></strong><em>, </em>pengaturan terkait sanksi.</p> Endah Kartina Donny Michael Yuliyanto Yuliyanto Muhammad Fedian Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Urgensi Perubahan Permenkumham Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/118 <p>Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (PP 31/2013), Peraturan Pemerintah tersebut telah mengalami perubahan 3 (tiga) kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 tentang Perubahan PP 31/2013, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua PP 31/2013, dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga PP 31/2013. Namun dalam peraturan pelaksanaannya, Kementerian Hukum dan HAM hanya memiliki Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 8 Tahun 2014 tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (Permenkumham 8/2014). Hal tersebut menimbulkan potensi tidak selaras atau harmonisasi dengan peraturan yang di atasnya karena perubahan pada PP tidak diikuti dengan perubahan Permenkumham. Oleh sebab itu sangat <em>urgent </em>untuk melakukan perubahan pada Permenkumham 8/2014. Analisis ini akan berfokus pada urgensi perubahan Permenkumham dan rekomendasi materi muatan untuk perubahan Permenkumham Nomor 8 tahun 2014 tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor.</p> Siwanto Budi Nugroho Muhammad Fedian Sujatmiko Sujatmiko Ardyan Gilang Ramadhan Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Policy Paper Optimalisasi Peranan Staf Ahli di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/124 <p>Staf ahli adalah jabatan pimpinan tinggi madya atau struktural eselon I.b. Tugasnya adalah memberi rekomendasi terhadap isu-isu strategis kepada Menteri sesuai keahliannya. Sesuai namanya, kata 'ahli' setelah kata 'staf' itu merujuk pada kepakaran dan profesionalitas seseorang pada bidang tertentu. Sebutan 'staf ahli' bukan berarti ia ahli dalam segala hal atau dalam segala permasalahan, namun bermakna ia menekuni dan memahami bidang tertentu secara mendalam. Dalam Permenkumham Nomor 41 Tahun 2021, pengertian isu strategis yang dimaksud dalam Perpres 68 Tahun 2019 diartikan sebagai isu strategis yang tidak terkait dengan tugas dari 11unit eselon 1 di Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini sedikit banyak membatasi ruang gerak staf ahli karena secara aktual isu-isu strategis nasional dinegeri ini justru terkait dengan isu-isu hukum dan banyak diantaranya bersinggungan dengan tusi Kementerian Hukum dan HAM, sebut saja isu terkait narkoba di rutan dan lembaga pemasyarakatan, keimigrasian (masalah paspor dan KITAS) dan naturalisasi pemain sepakbola yang menjadi salah satu pelayanan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM.</p> <p>Berdasarkan tugasnya maka peranan staf ahli sangat strategis karena keahlian staf ahli diharapkan mampu mendukung pimpinan tertinggi organisasi (menteri) untuk mengambil keputusan terkait isu strategis yang bisa jadi berkaitan dengan organisasi. Dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2019 Tentang Organisasi Kementerian Negara tugas staf ahli terkait rekomendasi isu strategis tidak dibatasi seperti Permenkumham Nomor 41 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM. Apakah pembatasan ini berdampak kepada tidak optimalnya peran staf ahli di Kementerian Hukum dan HAM? Lalu upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan peran staf ahli Menteri Hukum dan HAM?</p> <p>Agar peranan staf ahli dapat dioptimalkan maka bisa direkomendasikan beberapa hal yaitu menghilangkan redaksional “yang tidak menjadi bidang tugas Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal, Badan dan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia” dalam Pasal 448 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 41 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia</p> <p>Selain itu perlu juga menambahkan Pasal tentang fungsi dari Staf Ahli dalam Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan rumusan fungsi berdasarkan tusi Kementerian (Pelayanan Hukum, Penegakkan Hukum, Pembentukan peraturan perundang-undangan, Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM) yang identik dengan nomenklatur bidang staf ahli di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI.</p> Eko Noer Kristiyanto Sujatmiko Sujatmiko Muhaimin Muhaimin Josefhin Mareta Oktaviana Oktaviana Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-30 2023-11-30 Layanan Apostille: Peran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Reformasi Legalisasi Dokumen Publik https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/97 <p>Indonesia sebagai negara merdeka dan juga bagian dari masyarakat internasional, memiliki hak untuk dapat turut ikut serta dalam perjanjian internasional, baik sebagai negosiator, penandatangan, maupun sebagai pihak yang meratifikasi kesepakatan. Pada tahun 2021, pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen Publik Asing) sebagai bentuk keikutsertaan Indonesia pada konvensi Penghapusan Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen Publik Asing. Hal ini tentu saja menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia dan juga masyarakat internasional terutama dalam hal kemudahan dalam pengesahan dokumen publik. Sebagai bentuk tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tersebut, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum selaku Competent Authority telah meluncurkan layanan Apostille, yang diharapkan mampu untuk memangkas rantai birokrasi legalisasi dokumen publik dari yang sebelumnya perlu spesimen dari beberapa instansi kini cukup dengan satu spesimen saja yaitu dengan penerbitan Sertifikat Apostille dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan adanya layanan Apostille, masyarakat dapat melakukan permohonan legalisasi terhadap 66 (enam puluh enam) jenis dokumen publik yang menjadi persyaratan aplikasi visa, pernikahan, pendidikan, pelatihan, korporasi/perusahaan dan dokumen publik lainnya. Masyarakat juga dapat langsung menggunakan dokumen yang telah memperoleh Sertifikat Apostille di lebih dari 120 negara pihak konvensi Apostille. Sejak layanan Apostille diluncurkan, saat ini sudah lebih dari 70.000 permohonan legalisasi dokumen publik yang telah diterima dan ditindaklanjuti oleh Ditjen AHU. Dokumen terkait persyaratan pendidikan dan pernikahan menjadi yang paling banyak peminatnya. Hal ini menunjukkan bahwa layanan Apostille diminati masyarakat karena dirasa lebih efektif dan efisien dibandingkan birokrasi terdahulu. Meskipun begitu, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum perlu memetakan permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul selama layanan Apostille ini diterapkan, baik dari sisi alur kerja maupun dari sisi teknologi informasi yang digunakan, serta memetakan langkah-langkah startegis terhadap permasalahan tersebut. Melalui buku ini, penulis akan menjelaskan apa itu Apostille, layanan Apostille di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan manfaat serta dampak apa saja yang diperoleh masyarakat dan stakeholder dengan adanya layanan tersebut. Penulis, dengan data yang diperoleh dari direktorat terkait, juga akan menjelaskan potensi permasalahan dan risiko yang mungkin timbul setelah diluncurkannya layanan Apostille, disertai dengan langkah-langkah yang perlu dilakukan. Dengan adanya tulisan ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru dan mungkin masukan yang membangun demi pelayanan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang lebih baik.</p> Pratiwi Pratiwi Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-11-06 2023-11-06 Policy Paper Kemanfaatan Pemberian Kewarganegaraan Kepada Atlet WNA Melalui Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/109 <p>Naturalisasi atau pewarganegaraan adalah mekanisme negara memberikan kesempatan kepada warga negara asing untuk mendapatkan kewarganegaraan di negara baru, termasuk di Indonesia. Selain prosedur naturalisasi biasa, hukum kewarganegaraan Indonesia juga mengenal Naturalisasi Istimewa. Penggunaan naturalisasi istimewa atlet asing membela tim nasional Indonesia dimulai pada tahun 2010 saat Indonesia berkompetisi di Piala AFF hingga saat ini. Perkembangannya, semenjak naturalisasi istimewa di olahraga sepakbola diberlakukan beberapa tahun terakhir, tujuan naturalisasi pemain asing mulai bergeser. Dari tujuan awal untuk membela tim nasional, sekarang para pemain asing menjadi WNI demi kepentingan klub dan pemain asing itu sendiri dengan tujuan utama supaya mereka untuk tetap bisa berkarier di kompetisi sepakbola Liga Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, analisis kebijakan ini akan berusaha untuk menjelaskan pergerseran tujuan penggunaan proses naturalisasi dan bagaimana praktik yang baik dan benar, dalam kasus naturalisasi atlet, sesuai Pasal 20 Undang-Undang Kewarganegaraan. Analisis akan dilakukan dengan melakukan studi literatur dan wawancara mendalam kepada praktisi, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya. Rekomendasi dari analisis ditujukan kepada Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Badan Intelijen Negara, dan Federasi Sepakbola di Indonesia.</p> Eko Noer Kristiyanto Muhaimin Muhaimin Ulya Fajri Amriyeny Muhammad Fedian Endah Anggraini Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Urgensi Penetapan Besaran, Persyaratan, dan Tata Cara Pengenaan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak 0 (Nol) Rupiah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/107 <p>Pemerintah terus mendorong masyarakat berinovasi untuk mengolah kekayaan intelektual yang muncul dari kemampuan intelektual manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Karya yang dihasilkan sudah selayaknya diberikan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga dapat dipergunakan secara bertanggungjawab. Dalam rangka mendorong pemulihan dan peningkatan ekonomi nasional pemberian tarif PNBP sampai dengan Rp 0,- (nol rupiah) atau 0% (nol persen) perlu diidentifikasi lebih dulu terkait jenis PNBP dan besaran tarif untuk seluruh jenis layanan Kekayaan Intelektual dan kegiatan tertentu seperti penyelenggaraan kegiatan sosial, keagamaan, kenegaraan, masyarakat tidak mampu mahasiswa/pelajar, UMKM, atau kondisi kahar, dan kegiatan yang mendukung program Kementerian Hukum dan HAM khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual serta melalui optimalisasi anggaran DJKI atau capaian Realiasai PNBP. Oleh karena itu, perlu dasar hukum berupa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Besaran, Persyaratan, dan Tata Cara Pengenaan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Sampai Dengan Rp0,00 (Nol Rupiah) atau 0% (Nol Persen) di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan dapat ditetapkan pada tahun 2022 dengan terlebih dahulu melalui persetujuan Menteri Keuangan.</p> <p>&nbsp;</p> Nevey Varida Ariani Rismasari Rismasari Edy Sumarsono Oktaviana, Oktaviana, Siswanto Budi Nugroho Nevi Anggraeni Raharjo Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Pembaruan Tata Kelola Implementasi Pengeluaran Tahanan Demi Hukum dalam Mengatasi Overstay di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/87 <p><em>Overcrowded </em>bukan satu-satunya persoalan penjara, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan&nbsp; &nbsp;Kementerian&nbsp;&nbsp; &nbsp;Hukum&nbsp;&nbsp; &nbsp;dan&nbsp;&nbsp; &nbsp;HAM&nbsp;&nbsp; &nbsp;juga&nbsp;&nbsp; &nbsp;menghadapi masalah <em>overstaying </em>yang pelik. Overstaying adalah tahanan yang seharusnya sudah dibebaskan/dilepaskan, namun masih berada di dalam Rumah Tahanan Negara/Cabang Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan karena hal-hal tertentu seperti belum diterimanya surat perpanjangan penahanan tersangka/terdakwa. Ada tiga faktor penting penyebab <em>overstaying</em>, yaitu faktor regulasi, keterlambatan administrasi dan geografis, serta faktor individu tersangka/terdakwa. Tahanan yang mengalami kondisi ini sebenarnya mengalami pelanggaran hak asasi manusia, yaitu penahanan yang tidak sah (<em>arbitrary detention</em>) dan penahanan tidak sah merupakan pelanggaran hukum.1 Fakta bahwa <em>overstaying </em>merupakan fenomena yang biasa terjadi di hampir setiap rutan/cabang rutan dan lapas<em>, Overstaying </em>malah dipandang sebagai salah satu penyebab jumlah penghuni penjara melebihi kapasitas. Berdasarkan data terakhir yang dirilis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per tanggal 15 Juli 2022, saat ini terdapat 4.797 tahanan berstatus <em>overstaying</em>. Adapun rinciannya, yakni status AI (tahanan Kepolisian) sebanyak 13 narapidana, AII (tahanan Kejaksaan Agung) sebanyak 187 narapidana, AIII (tahanan Pengadilan Negeri) sebanyak 1.873, AIV (tahanan Pengadilan Tinggi) sebanyak 2.074 narapidana, dan AV (tahanan Mahkamah Agung) sebanyak 650 narapidana. Kondisi ini tentunya menyebabkan bertambahan pengeluaran negara dalam hal pembiayaan bahan makanan tahanan. Meski begitu, terjadi penurunan dibanding angka overstaying pada 15 Juni 2022 sebanyak 6.159 narapidana. Penurunan tersebut, yakni AI sebanyak 65%, AII sebanyak 76%, AIII sebanyak 56%, dan AV sebanyak 5,5%. Namun, terdapat kenaikan pada AIV, yakni sebanyak 5,5%.2 Dalam hal penyelanggaraan pelayanan tahanan menjadi penting karena rutan/cabang rutan dan lapas bukan saja menjadi masalah hukum, akan tetapi terkait juga dengan masalah hak asasi manusia seorang tersangka/terdakwa, sehingga timbul pertanyaan permasalah apakah Kepala Rutan atau Lapas telah memenuhi kewajibannya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan HAM R.I. Nomor : M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 Tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum?, apa penyebab dan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tidak dapat dijalankannya kewajiban pasal dimaksud? dan bagaimana alternatif kebijakan yang dapat disampaikan oleh Ditjen Pemasyarakatan?. <strong><em>Alternatif </em></strong><strong>kebijakan </strong>sebagai pilihan kebijakan ini didasarkan pada identifikasi isu kebijakan dan analisisnya tentang <em>pengeluaran tahanan demi hukum</em>, yang <em>dianggap penting dan strategis </em>untuk ditindaklanjuti, dalam hal belum optimalnya pelaksanaan Pasal 6 ayat (3) Permenkumham dimaksud, diantaranya yakni <strong><em>Pertama</em></strong>, mempertimbangkan untuk disusunnya kebijakan pemantauan</p> <p>pelaksanaan <em>pengeluaran tahanan demi hukum </em>di Rutan/Lapas dan pembentukan Tim Pemantauan yang melaporkan secara periodik (bulanan) kepada Menteri Hukum dan HAM. Tim Pemantauan dimaksud terdiri dari unsur-unsur: <em>internal </em>Kemenkumham, masyarakat (tahanan/keluarga tahanan dan/ atau Advokat/pengacara tahanan), serta lembaga-lembaga bantuan hukum dan/ atau lembaga Advokat yang sah menurut perundang-undangan. Hasil Pelaporan Tim Pemantauan dapat dipergunakan oleh Menteri Hukum dan HAM baik dalam rapat- rapat koordinasi penegakan hukum di Kementerian Polhukam maupun dalam rapat terbatas dengan Presiden. <strong><em>Kedua</em></strong>, Kementerian Hukum dan HAM mengambil peranan aktif dalam kerangka penyusunan Peraturan Pemerintah tentang <em>penyelenggaraan pelayanan tahanan </em>sebagaimana merujuk pada Pasal 27 dan Pasal 98 Undang-Undang R.I. Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, melalui penyusunan naskah kebijakan dalam hal khusus menyangkut materi pengaturan atas <em>pengeluaran tahanan demi hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM</em>. Maka naskah kebijakan ini merekomendasikan untuk mengambil kedua pilihan (opsi) kebijakan dengan merujuk pada sekala prioritas, yakni: <strong>prioritas pertama</strong>, sebagai target jangka pendek adalah segera menyusun kebijakan di internal Kementerian Hukum dan HAM perihal pelaksanaan pemantauan yang mencakup: <em>Pemantauan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengeluaran Tahanan Demi Hukum </em>dan <em>Pembentukan Tim Pemantauan</em>. Adapun Tim Penyusunan Kebijakan <em>Pemantauan Pelaksanaan Pengeluaran Tahanan Demi Hukum </em>terdiri dari unsur <em>internal </em>Kemenkumham yakni: Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Badan Litbang Hukum dan HAM; dan unsur <em>eksternal </em>yakni: masyarakat dan/atau kelompok masyarakat sipil (bidang sistem peradilan pidana), KOMNAS HAM, Ombudsman, serta lembaga bantuan hukum dan/ atau lembaga advokat, <strong>prioritas kedua</strong>, sebagai target jangka menengah adalah tersusunnya naskah kebijakan “<em>Urgensi Pemantauan Pelaksanaan Pengeluaran Tahanan Demi Hukum</em>” sebagai basis bukti kebijakan Menteri Hukum dan HAM tentang <em>Pemantauan Pelaksanaan Pengeluaran Tahanan Demi Hukum Dan </em><strong>prioritas ketiga</strong>, sebagai target jangka Panjang adalah menyusun naskah kebijakan <em>penyelenggaraan pelayanan tahanan </em>sebagaimana merujuk Pada Pasal 27 dan Pasal 98 Undang-Undang R.I. Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, khususnya menyangkut materi pengaturan atas pengeluaran tahanan demi hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM, sebagai bagian dari dokumen penyusunan <strong>Peraturan Pemerintah </strong>tentang penyelenggaraan pelayanan tahanan.</p> Edy Sumarsono Risma Sari Radi Setiawan Yuliyanto Yuliyanto Octaviana Octaviana Siswanto Budi Nugroho Nevi Anggraeni Raharjo Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Evaluasi Dampak Penetapan Desa/Kelurahan Sadar Hukum Terhadap Peningkatan Kepatuhan Hukum Masyarakat https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/94 <p>Program Desa/Kelurahan Sadar Hukum (DSH/KSH) sudah ada sejak tahun 1993. Program ini diharapkan memberi dampak positif bagi warga di tingkat desa/kelurahan dalam meningkatkan kesadaran hukum. Berdasarkan data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), jumlah Desa/Kelurahan yang sudah ditetapkan menjadi Desa/Kelurahan Sadar Hukum per-Mei 2022 sebanyak 5.953. Berdasarkan latar belakang tersebut, isu kebijakan yang diangkat dalam naskah final pra kebijakan ini, pertama, bagaimana dampak penetapan desa/kelurahan terhadap peningkatan kepatuhan hukum masyarakat. Kedua, bagaimanakah upaya pembinaan yang dilakukan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, pemerintah provinsi/ kabupaten/kota dalam menjaga kekonsistenan tingkat kepatuhan hukum masyarakat desa/kelurahan yang sudah memperoleh penghargaan desa/kelurahan sadar hukum. Kedua isu kebijakan ini penting untuk dianalisis mengingat sampai dengan tahun 2022 ini, BPHN sebagai pelaksana program belum pernah melakukan monitoring dan evaluasi subtantif terhadap desa/kelurahan yang sudah mendapatkan penghargaan <em>Anubhawa Sasana Desa </em>dan <em>Anubahwa Sasana Kelurahan, </em>padahal menurut Peraturan Kepala BPHN Nomor: PHN.HN.03.05-73 Tahun 2008 Tentang Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum dan Desa/Kelurahan Sadar Hukum, apabila di kemudian hari desa/kelurahan tersebut tidak memenuhi persyaratan, penetapan desa/kelurahan sadar hukum tersebut dapat ditinjau kembali. Selanjutnya pembinaan berkelanjutan terhadap DSH/KSH juga merupakan hal yang penting dilakukan untuk menjaga tingkat kekosistenan kesadaran hukum masyarakat di DSH/KSH dan jangan sampai mengalami penurunan tingkat kesadaran hukum.</p> Maria Lamria Sujatmiko Sujatmiko Dian Nurcahya Nadia Dwi Rahma Andana Wiyaka Putra Winda Astuti Nevey Varida Ariani Gunawan Gunawan Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Urgensi Pra Kebijakan Program Penyusunan 2022 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 28 Tahun 2018 tentang Cap Keimigrasian https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/110 <p>Dalam pelayanan izin tinggal saat ini telah dilaksanakan tahapan proses implementasi cap keimigrasian elektronik, namun berdasarkan hasil uji coba implementasi peneraan stiker layanan izin tinggal, masih ditemukan adanya kekurangan pengaturan cap keimigrasian yang digunakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 28 Tahun 2018 <em>Juncto</em> Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Cap Keimigrasian. Hal tersebut menyebabkan peneraan cap keimigrasian menggunakan 2 (dua) jenis cap keimigrasian yaitu cap keimigrasian elektronik dan cap keimigrasian manual. Namun berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Imigrasi, cap keimigrasian manual memiliki beberapa kelemahan yaitu <strong>pertama</strong>, sering terjadi kesalahan peneraan cap keimigrasian di dokumen perjalanan penumpang, <strong>kedua</strong>, in-efisiensi waktu pemeriksaan dan <strong>ketiga</strong>, kemungkinan penambahan cap baru lainnya, sebagai bentuk implementasi kebijakan baru. Untuk memberikan pelayanan dan pengawasan keimigrasian yang mengedepankan pelayanan prima, efektifitas pengawasan dan keseragaman dalam pelayanan dan pengawasan serta memberikan legalitas terhadap kelima cap keimigrasian dalam pelayanan izin tinggal, maka Direktorat Jenderal Imigrasi perlu menginisiasi perubahan kedua Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Cap Keimigrasian.</p> <p>Berdasarkan deskripsi masalah, alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu: <strong>pertama</strong>, melakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 28 Tahun 2018 <em>Juncto</em> Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Cap Keimigrasian dalam rangka memberikan legalitas penggunaan cap elektonik untuk layanan izin tinggal kunjungan. <strong>Kedua</strong>, mempertahankan kebijakan yang saat ini berlaku dengan menerapkan dua jenis cap, yaitu cap keimigrasian manual dan cap keimigrasian elektronik. <strong>Ketiga</strong>, menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi sebagai legalitas pengunaan cap elektronik bagi layanan izin tinggal kunjungan yang belum ada Pengaturannya di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 28 Tahun 2018 <em>Juncto</em> Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Cap Keimigrasian.</p> Oki Wahju Budianto Sujatmiko Sujatmiko Dian Nurcahya Andana Wiyaka Putra Nadia Dwi Rahma Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Membangun Indonesia Dari Pinggiran Melalui Penguatan SDM Keimigrasian di Wilayah Perbatasan Studi Kasus: Kantor Imigrasi Atambua https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/91 <p>Melalui nawacita, paradigma pembangunan yang selama ini lebih mengutamakan <br>pengembangan di pusat negara, segera diubah menjadi ke arah pinggiran, dengan tujuan agar <br>wilayah perbatasan benar-benar menjadi pintu gerbang aktivitas ekonomi dengan negara <br>tetangga yang memberikan dampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Peran imigrasi <br>dalam memberikan layanan perlintasan sekaligus menjalankan fungsinya sebagai fasilitator <br>pembangunan kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di perbatasan, <br>pegawai imigrasi dihadapkan beberapa tantangan seperti kesejahteraan antar pegawai imigrasi <br>yang timpang, jumlah jam kerja yang melebihi ketentuan dari peraturan yang berlaku, <br>pemenuhan hak atas cuti yang belum maksimal, serta kepastian masa tugas dan prospek karir <br>yang timpang, terutama bagi pejabat fungsional. Untuk memastikan kinerja pegawai imigrasi <br>di perbatasan tetap produktif dan memiliki semangat tinggi dalam menyelenggarakan <br>fungsinya, perlu pengaturan yang lebih berpihak kepada pegawai imigrasi yang ditugaskan di <br>perbatasan seperti pemberian insentif finansial, penyediaan fasilitas seperti rumah dinas dan <br>kendaraan dinas, pengelolaan jam kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan, <br>pemenuhan cuti tahunan tambahan serta adanya penguatan SDM dengan memperbanyak <br>kesempatan untuk mengikuti diklat teknis, dan pelaksanaan sosialisasi/pelatihan untuk <br>meningkatkan kompetensi dan pemahaman Tim Penilai dan pemahaman terhadap tatacara <br>penilaian yang memperhatikan satuan hasil kerja.</p> Citra Krisnawaty Muhammad Fedian Endah Kartina Esther Istianingrum Ade Ruhanda Eko Noer Kristiyanto Dhanu Anggara Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Evaluasi Kesesuaian Pola Bangunan Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/108 <p>Fungsi dan Tujuan dari pendirian Lembaga Pemasyarakatan menjadikan pembangunannya tak dapat dilakukan secara asal, diperlukan standar dan standarisasi agar bangunan Lembaga Pemasyarakatan dapat menunjang kegiatan serta tujuan-tujuan yang dikehendaki secara menyeluruh dan terpadu. Standar pola bangunan terhadap lembaga pemasyarakatan adalah hal penting di mana menjadi rencana strategis Kementerian Hukum dan HAM RI tahun 2019-2024. Dengan diterbitkannnya Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.PB.02.09 Tahun 2019 tentang Pola Bangunan Lembaga Penempatan Anak Sementara, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Rumah Tahanan Negara Perempuan dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan, maka menjadi acuan dalam menyesuaikan rencana pembangunan fungsi khusus pemasyarakatan yang sejalan dengan perkembangan regulasi nasional dan perkembangan sistem Pemasyarakatan. Revitalisasi Pemasyarakatan yang mempertajam model Pembinaan Pemasyarakatan sedikit banyak telah mempengaruhi analisa kebutuhan ruang. Sedangkan pola bangunan yang lama belum mengatur tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis yang disebut di atas. Berangkat dari hal tersebut, analisis kebijakan ini akan berusaha mengevaluasi kesesuaian pola bangunan khususnya yang berfokus penerapannya pada Lembaga Pembinaan&nbsp; Khusus &nbsp;Anak (LPKA) dan&nbsp; Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) di mana dirasa membutuhkan perhatian lebih terhadap kebutuhan ruang. Analisis akan dilakukan dengan melakukan studi literatur dan wawancara mendalam kepada praktisi, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya. Implementasi mengenai Kesesuaian Pola Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.PB.02.09 Tahun&nbsp; 2019&nbsp; tentang&nbsp; Pola&nbsp; Bangunan&nbsp; Lembaga&nbsp; Penempatan&nbsp; Anak&nbsp; Sementara,&nbsp; Lembaga Pembinaan&nbsp; Khusus&nbsp; Anak dan&nbsp; Lembaga Pemasyarakatan Perempuan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena terkendala pada sosialiasi saat diterbitkannya Kepmen ini sedang dilanda pandemi, selain itu kendala lain terkait syarat adminstrasi bangunan, aspek lokasi dan bentuk serta terbatasnya anggaran untuk mengimplementasikan Kepmen ini secara keseluruhan. Diperlukan adanya peraturan dengan hirarki yang lebih tinggi untuk mengatur Unit Pelaksana Teknis pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dapat mengakomodir Kepmenkumham tahun 2003 dan Kepmenkumham tahun 2019 dalam bentuk satu peraturan serta mengakomodir pengaturan ruangan tambahan seperti ruang karantina kesehatan, ruang pengembangan bakat dan keterampilan pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai pola bangunan.Dari hasil analisis kebijakan terkait pengimplementasian Kesesuaian Pola Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.PB.02.09 Tahun&nbsp; 2019&nbsp; tentang&nbsp; Pola&nbsp; Bangunan&nbsp; Lembaga&nbsp; Penempatan&nbsp; Anak&nbsp; Sementara,&nbsp; Lembaga Pembinaan&nbsp; Khusus&nbsp; Anak dan&nbsp; Lembaga Pemasyarakatan Perempuan, dapat diberikan rekomendasi kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk dapat melakukan hal-hal seperti mengakomodir aturan pola bangunan seluruh Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dalam 1 (satu) Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mencakup Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan, Rumah Tahanan Negara, Rumah Tahanan Negara Perempuan, Balai Pemasyarakatan, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara; Menambahkan pengaturan ruangan tambahan seperti ruang karantina kesehatan, ruang pengembangan bakat dan keterampilan pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai pola bangunan; Membuat tim yang memantau pelaksanaan Peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai Pola Bangunan yang baru sebagai wujud komunikasi kebijakan; Membuat standar persentase minimum pelaksanaan/ketercapaian Kepmen Pola Bangunan yang baru; Melaksanakan pembangunan secara bertahap dengan standar kualitas pola bangunan menyesuaikan anggaran dan lahan yang tersedia.</p> Muhaimin Muhaimin Endah Kartina Esther Istianingrum Citra Krisnawaty Ade Ruhanda Ulya Fajri Amriyeny Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Formasi Persebaran Organisasi Pemberi Bantuan Hukum di Setiap Kabupaten/Kota https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/106 <p>Hak untuk memperoleh bantuan hukum merupakan hak konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pada tataran implementasi, salah satu kendala dalam pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum yaitu belum meratanya persebaran Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakrediatasi di setiap kabupaten/kota (kab/kota) di Indonesia. Berdasarkan data hasil verifikasi dan akreditasi yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), terdapat 619 OBH yang terakreditasi, yang tersebar di 279 kab/kota, dari 514 kab/kota yang ada di Indonesia. Data ini menunjukkan persebaran OBH tersebut belum merata, karena masih terdapat kab/kota yang belum memiliki OBH terakreditasi, sedangkan di kab/kota yang belum memiliki OBH terakreditasi tersebut, juga terdapat orang miskin yang berhadapan dengan hukum, sehingga akses untuk mendapatkan bantuan hukum dari OBH terakreditasi terkendala. Untuk mengatasi permasalahan belum terpenuhinya akses masyarakat terhadap bantuan hukum tersebut, BPHN perlu mempertimbangknan sejumlah alternatif kebijakan berikut: 1) Mendorong OBH terakreditasi untuk membuka Pos Pelayanan Bantuan Hukum di kab/kota yang belum memiliki OBH terakreditasi; 2) Mendorong pembentukan OBH di kab/kota yang belum memiliki OBH terakreditasi dengan memberikan <em>affirmative action</em> bagi OBH untuk mendapatkan akreditasi dari Kementerian Hukum dan HAM dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus daerah; 3) Mengintruksikan agar mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam memberikan pendampingan hukum kepada klien; dan 4) Menyusun peta persebaran formasi OBH di 514 kab/kota. Untuk menentukan formasi persebaran OBH di setiap kab/kota, BPHN dapat menggunakan metode sebagai berikut: <em>pertama,</em> menyusun variabel yang terdiri dari: luas wilayah pada 514 kab/kota; jumlah penduduk miskin di 514 kab/kota; dan jumlah kasus pidana di 514 kab/kota. <em>Kedua,</em> menentukan formasi OBH optimal di 514 kab/kota dengan cara membagi zonasi berdasarkan ketiga variabel tersebut. <em>Ketiga, </em>menentukan formasi OBH ideal di 514 kab/kota dengan cara menjumlahkan formasi OBH optimal dari masing-masing variabel, kemudian dibagi dengan jumlah variabel.</p> Yuliyanto Sujatmiko Sujatmiko Endah Kartina Nevi Anggraeni Raharjo Nadia Dwi Rahma Rismasari Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 Policy Paper Efektivitas Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan dalam Mendukung Pemberdayaan Klien Pemasyarakatan di Lingkungan Masyarakat https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/93 <p>Sistem pemasyarakatan bertujuan memberikan pelindungan dan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan klien pemasyarakatan. Keterlibatan masyarakat ini dilembagakan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : PAS- 06.OT.02.02 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas) pada Balai Pemasyarakatan (Bapas). Berdasarkan latar belakang tersebut analisis kebijakan ini mengidentifikasi dua isu kebijakan, pertama efektifitas peran Pokmas Lipas dalam mendukung pemberdayaan Klien Pemasyarakatan, dan kedua mengidentifikasi kendala dalam pelaksanaan perannya. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa peran Pokmas Lipas belum optimal dalam pemberdayaan klien pemasyarakatan untuk reintegrasi dan resosialisasi. Hal ini disebabkan beberapa kendala yang dihadapi yaitu Program Pokmas Lipas belum menjangkau seluruh kebutuhan klien pemasyarakatan yang ada di Bapas, adanya keterbatasan anggaran dan sumber daya yang mendukung pelaksanaan Program Pokmas Lipas. Berdasarkan hal tersebut, dalam upaya mengefektifkan peran Pokmas Lipas dalam Pemberdayaan Klien Pemasyarakatan, Rekomendasi Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan, Pertama, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menugaskan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham dan Kepala Bapas untuk melakukan pendekatan dan menjalin kerjasama dengan pemda dan swasta yang memiliki kriteria dan kompetensi yang dapat mendukung peningkatan pemberdayaan klien pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan klien pemasyarakatan. Implikasinya Kanwil Kemenkumham dan Bapas harus secara intensif dan komprehensif dalam melakukan koordinasi dan sinergi dengan pihak terkait lainnya terutama dengan perusahaan untuk dapat mengalokasikan dana CSR guna kepentingan pemberdayaan klien pemasyarakatan. Kedua, mendorong Bapas untuk menyusun Program Pemberdayaan klien Pemasyarakatan setiap tahunnya. Hal ini menjadi dasar pengajuan kebutuhan pengalokasian anggaran bagi klien pemasyarakatan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Implikasinya bahwa hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah anggaran yang harus disediakan oleh Ditjen Pemasyarakatan untuk mendukung peningkatan pemberdayaan bagi Klien pemasyarakatan. Ketiga, mengembangkan terbentuknya program Rumah Singgah “Griya Abhipraya” di Bapas seluruh wilayah Indonesia melalui upaya koordinasi dan sinergitas dengan Pemda dan Pokmas Lipas serta stakeholder lainnya, sehingga terwujud Program Pemberdayaan klien pemasyarakatan yang terintegrasi dalam satu wadah. Selanjutnya perlu dukungan sumber daya dan regulasi yang dapat mendukung program pemberdayaan yang dilakukan oleh Griya Abhipraya. Implikasi pembentukan Griya Abhipraya ini dapat memudahkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja pokmas lipas. Dengan dukungan sumber daya yang memadai dan regulasi yang tepat dapat mengoptimalkan keterlibatan Pemda dan Pokmas Lipas untuk Pemberdayaan yang lebih berkualitas dan berkelanjutan bagi klien pemasyarakatan.</p> Maria Lamria Sujatmiko Sujatmiko Yuliyanto Yuliyanto Dian Nurcahya Nadia Dwi Rahma Atiek Meikhurniawati Andana Wiyaka Putra Winda Astuti Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-30 2023-10-30 DIGITALISASI PELAYANAN LALU LINTAS ORANG YANG MASUK KE WILAYAH INDONESIA MELALUI AUTOGATE SISTEM https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/100 <p>Direktorat Jenderal Imigrasi saat ini telah mengaktifkan kembali pelayanan <em>Autogate</em> yang ada di beberapa Bandara besar serta Pelabuhan Internasional yang ada di Indonesia seperti Bandara Soekarno Hatta di Jakarta, Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali, serta Pelabuhan Internasional Harbour Bay Batam, pelayanan <em>Autgate</em> ini sangat memberikan kemudahan bagi lalu lintas orang yang akan keluar masuk wilayah Indonesia. Pelayanan pemeriksaan imigrasi di Bandara dan Pelabuhan Internasional yang sebelumnya dilakukan secara manual dimana seluruh penumpang pada saat tiba dari luar negeri maupun yang akan berangkat ke luar negeri mereka diarahkan untuk antre di konter pemeriksaan migrasi untuk dilakukan wawancara singkat dan peneraan cap tanda masuk atau keluar, namun sekarang sebagian pelayanan tersebut telah diubah dengan cara digitalisasi pelayanan secara <em>self service</em> yaitu inovasi pelayanan dalam bentuk teknologi antarmuka yang mengizinkan penumpang untuk memperoleh layanan secara mandiri seperti layanan yang dilakukan oleh petugas secara langsung.</p> <p> </p> <p>Akan tetapi dalam penerapan digitalisasi pelayanan lalu lintas orang yang keluar masuk wilayah Indonesia melalui <em>Autogate</em> sistem ini diperlukan sebuah mitigasi yang harus diwaspadai, sehingga dalam proses pelayanan pemeriksaan keimigrasian tidak mengurangi tujuannya yaitu untuk mencegah orang yang tidak berhak masuk dan keluar di wilayah Indonesia. Didalam penelitian yang dilakukan oleh penulis pada buku ini terdapat 3 mitigasi yang harus diwaspadai dalam hal proses digitalisasi pelayanan lalu lintas orang yang keluar masuk wilayah Indonesia melalui <em>Autogates, </em>sehingga diharapkan pada proses pemeriksaan keimigrasian kepada setiap orang yang keluar masuk wilayah Indonesia telah memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban di Indonesia.</p> Deki Rahman Azali Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-05 2023-10-05 Psikologi Dalam Sistem Pemasyarakatan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/102 <p>Motif kejahatan, residivisme dan perbaikan diri narapidana adalah persoalan terkait perilaku dan proses mental manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun referensi dan kajian bidang tersebut di Indonesia masih sangat terbatas. Buku "Psikologi dalam Sistem Pemasyarakatan" membahas peran penting psikologi untuk memahami dan mengatasi tantangan kompleks yang dihadapi oleh narapidana dan petugas pemasyarakatan di dalam lingkungan penjara. Buku ini mengajak pembaca untuk menjelajahi dunia psikologis di balik tindak kriminal, kondisi psikologis narapidana, serta dampaknya terhadap kesehatan mental narapidana dan petugas pemasyarakatan.</p> <p>Buku ini terdiri atas empat bagian penting. Bagian pertama buku ini membahas bagaimana peran psikologi dalam pelaksanaan sistem Pemasyarakatan. Bagaimana psikologi menjadi salah satu disiplin ilmu yang dapat diterapkan dalam implememtasi tugas dan fungsi pemasyarakatan untuk mencapai tujuan pemasyarakatan. Bagian kedua buku ini menjelaskan perspektif dan faktor psikologis yang berkontribusi dalam tindak kriminal. Pembaca akan diperkenalkan dengan tinjauan psikologis tindakan pelanggaran hukum pidana, seperti teori belajar, teori kognitif, dampak trauma masa kecil, dan relasi kepribadian dengan kejahatan.</p> <p>Bagian ketiga buku ini membahas kondisi dampak psikologis pemenjaraan terhadap kemunculan masalah kesehatan mental narapidana. Buku ini akan membahas berbagai gangguan psikologis yang umum dialami narapidana berdasarkan berbagai riset, sepertidepresi, bunuh diri dan homoseksual. Bagian ini juga mengulas faktor psikosial yang berpengaruh adaptasi narapidana selama menjalani hukuman. Pada bagian keempat, buku ini menjelaskan tantangan intervensi psikologis untuk mengatasi problem kesehatan mental narapidana dan anak-anak. Buku ini mengupas sejumlah teknik dan metode dalam psikoterapi yang berdampak dampak efektif untuk mengatasi gangguan psikologis narapidana dan anak binaan.</p> <p>"Psikologi dalam Sistem Pemasyarakatan" menjadi salah satu bacaan berharga bagi para peneliti, praktisi dan pembaca yang terlibat dan berminat terhadap kajian psikologi narapidana dan pemenjaraan.</p> Maki Zaenudin Subarkah Imaduddin Hamzah Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-04 2023-10-04 REKONSEPTUALISASI MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/95 <p>Bahwa berdasarkan materi muatan Perda sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 236 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk mencegah munculnya kehadiran Perda-Perda yang bersifat diskriminatif dan bertentangan peraturan perundang-undangan lainnya diperlukan rekonseptualisasi terhadap materi muatan Perda. Untuk mewujudkan rekonseptualisasi dimaksud perlu dipertimbangkan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2011 dan Ketentuan Pasal 236 ayat (4), sehingga materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah hanya diberlakukan bagi daerah yang bersifat khusus atau istimewa.</p> Eka NAM Sihombing Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-10-02 2023-10-02 PRAKTEK BIMBINGAN SOSIAL BAGI KLIEN PEMASYARAKATAN RESIKO TINGGI https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/98 <p>Praktek Bimbingan Sosial Bagi Klien Pemasyarakatan Resiko Tinggi, dapat diselesaikan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Buku Praktek Bimbingan Sosial Bagi Klien Pemasyarakatan Resiko Tinggi, dapat dijadikan sebagai acuan dalam Praktek Bimbingan Sosial Bagi Klien Pemasyarakatan Resiko Tinggi di Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan secara simultan sesuai tahapan dalam intervensi sosial<strong>.</strong></p> <p>Bimbingan Konseling yang dilaksanakan dilaksanakan secara runtut sehingga apa yang ingin dicapai dari bimbingan konseling bagi klien dapat dilanksanakn dengan baik dan secara profesional. Seorang Pekerja Sosial Koreksional (Pembimbing Kemasyarakatan) dapat melaksanakan intervensi sosial terhadap klien sesuai kebutuhan klien, sehingga proses bimbingan konseling bisa berlangsung sesuai rencana yang telah direncanakan.&nbsp; Secara umum dalam Praktek Bimbingan Sosial Bagi Klien Pemasyarakatan Resiko Tinggi semua tahapan intervensi sosial dijalankan dengan bertahap sehingga bisa dievaluasi setiap tahapan kegiatannya.</p> <p>Bimbingan Konseling terhadap klien dilakukan secara secara konfrenhensif sehingga bisa diperoleh kebutuhan dan juga resiko yang dimiliki klien sehingga bisa disusun sebuah model bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan dan resiko dari klien itu sendiri.</p> Muhammad Ali Equatora Rachmayanthy Rachmayanthy Copyright (c) 2023 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2023-08-23 2023-08-23 Tugas dan Fungsi Keimigrasian dalam Pelayanan dan Pelindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/60 <p>Buku ini membahas mengenai tugas dan fungsi kemigrasian di luar negeri terutama terkait dengan pelayanan dan pelindungan WNI. Informasi terkait dengan tugas dan fungsi keimigrasian di luar negeri pada 22 perwakilan Republik Indonesia disajikan secara jelas dan komprehensif. Penyajian informasi dalam buku ini memberikan gambaran bagi pembaca terkait dengan pelayanan dan pelindungan WNI di luar negeri. Pembaca akan menemukan informasi terbaru dan lengkap terkait pelaksanaan fungsi keimgirasian di luar negeri pada perwakilan Republik Indonesia. Buku ini juga menyajikan strategi untuk meningkatkan fungsi keimgrasian di luar negeri, terutama terkait dengan strategi peningkatan pelayanan dan strategi pengembangan kelembagaan keimigrasian di luar negeri. Tentunya strategi yang ditawarkan dalam buku ini bertujuan agar memaksimalkan pelayanan keimigrasian dan menjamin pelindungan hukum bagi WNI di luar negeri.</p> Hilmi Ardani Nasution Mosgan Situmorang Muhar Junef Harison Citrawan Jody Imam Rafsanjani Ulya Fajri Amriyeni Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Kedudukan Klausula Arbitrase pada Kasus Kepailitan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/67 <p>Hukum Arbitrase dan kepailitan itu sendiri pada dasarnya sudah ada sejak lama Pengundangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Kepailitan dan PKPU serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah membawa perubahan yang signifikan dalam hal penyelesaian kasus-kasus atau sengketa di bidang perekonomian dan perdagangan.<br />Dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan serta makin banyaknya permasalahan utang-piutang yang timbul dalam dunia usaha yang belum bisa diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, kembali ketentuan tersebut mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004. Pada dasarnya kedua baik Undang Undang Kepailitan dan Undang Arbitrase mempunyai peran dan tujuan yang sama untuk mendukung kemajuan perekonomian. Yang menjadi permasalahan adalah dalam kedua Undang Undang tersebut terdapat norma yang saling bertentangan yakni antara pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan pasal 303 Undang Undang Kepailitan<br />Dalam buku ini di uraikan bagaimana kedudukan kalausula arbitrase apabila timbul sengeketa dan akan tetapi salah satu pihak mengajukan kepailitan ke Pengadilan Niaga. Siapakah yang berwenang memeriksa kasus tersebut apakah lembaga arbitrase atau pengadilan Niaga dan bagaimana pendapat Mahkamah Agung dalam hal ini.<br />Dengan diterbitkannya buku ini yang berisi ulasan mengenai sejarah, filosofi, syarat-syarat hukum Arbitrase dan Kepailitan, serta penundaan kewajiban pembayaran hutang diharapkan akan memberikan wawasan baru mengenai hukum Arbitrase dan Kepailitan serta penerapannya di Indonesia khususnya kontradiksi.</p> Mosgan Situmorang Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Penerapan Hak Warga Binaan Perempuan Maternal dan Anak Bawaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/73 <h1><span style="font-size: 14px;">Penyelenggaraan sistem pemasyarakatan di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan dirasa masih belum maksimal secara keseluruhan oleh warga binaan pemasyarakatan maternal, terutama dalam memberikan hak-hak bagi WBP maternal dan anak bawaan. Berdasarkan data lapangan yang telah dikumpulkan beberapa masalah yang muncul saat pemenuhan hak warga binaan pemasyarakatan perempuan maternal di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan meliputi lima aspek, yaitu: aspek regulasi, aspek penganggaran, aspek sumber daya manusia, aspek sarana prasarana dan aspek kerja sama. Alternatif rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yaitu menyusun regulasi beserta kerangka acuan teknis mengenai eksistensi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan yang mendukung pemenuhan hak-hak dan kebutuhan WBP maternal dan anak bawaan, merumuskan kebutuhan pengusulan SBM/SBK terkait dengan pemenuhan hak WBP maternal dan anak bawaan di Lapas Perempuan dan melakukan perubahan Kepmenkumham terkait dengan pola bangunan UPT yang ideal bagi kebutuhan WBP maternal dan ramah anak. Hal ini dilakukan untuk memberikan dasar bagi pemenuhan hak warga binaan pemasyarakatan maternal dan anak bawaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan.</span></h1> Nevey Varida Ariani Yuliyanto Sujatmiko Ulya Fajri Nadia Dwi Rachma Siswanto Budo Nugroho Maria Lamria Dian Nurcahya Andana Wiyaka Putra Intan Puspa Sari Farikhah Yuni Susilowati Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Hukum Adat Gayo Masa Lalu dan Masa Sekarang https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/78 <p>Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang. Salah satunya adalah pada masyarakat Suku Gayo yang berada di Provinsi Aceh. Bagaimana hubungan dan susunan norma-norma yang mengatur hidup dan kehidupan orang Gayo itu dapat di lihat dari bunyi mukaddimah (pembukaan) yang disebut tampuk "Peraturan Pokok Hukum Adat Gayo" Menurut Mukaddimah atau tampuk itu: "Firman turun dari Tuhan, Hadits datang Nabi, perintah datang dari Banda Aceh dan adat berasal dari negeri Linge". Menurut kepercayaan orang Gayo, Linge adalah negeri asal mereka, dari sanalah adat Gayo itu bermula, tumbuh, berkembang dan kemudian dituangkan ke dalam satu naskah terdiri dari 45 Pasal pada tanggal 19 Agustus 1940 atas permintaan pemerintah Belanda. Jika dipelajari dengan seksama "Peraturan Pokok Hukum Adat Gayo" itu kelihatan ciri "Hukum yang hidup" yang menggambarkan jiwa masyarakat yang bersangkutan, memuat prinsip-prinsip hukum.</p> Ahyar Ari Gayo Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Menakar Popularitas Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/43 <p>Badan hukum menurut Savigny adalah fiksi semata-mata buatan negara yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subjek hukum yang diperhitungkan layaknya manusia. Sebaliknya Gierke menyebut badan hukum itu suatu realita, sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia yang ada di dalam pergaulan hukum. Sedangkan Brinz mengemukakan, disamping manusia sebagai subjek hukum, tidak dapat dibantah bahwa ada hak-hak atas suatu kekayaan yang tidak dapat dibebankan kepada manusia, melainkan kepada badan hukum dan harta kekayaan itu terikat oleh suatu tujuan. Status badan hukum sebuah perseroan sebagai <em>legal entity</em>, layaknya manusia yang baru ”dilahirkan” adalah sejak diakui oleh negara, yaitu sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI melalui pengesahan badan hukum perseroan. Oleh karena itu, demikian juga seharusnya, pada saat pailitnya perusahaan kehadiran negara menjadi penting dalam pengawasan dan pemberesannya.<br />Namun demikian kewenangan Balai Harta Peninggalan sebagai kurator kepailitan belum optimal dilaksanakan. Hal ini terlihat dari data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa BHP belum begitu populer di tengah-tengah masyarakat, khususnya bagi para pihak dalam perkara kepailitan. Hal-hal apa saja yang menjadi penyebabnya dan seperti apa tawaran konsep di masa mendatang, buku ini akan mencoba mengulasnya.</p> Taufik H. Simatupang Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Rekonstruksi Hak Imunitas Advokat dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Berbasis Keadilan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/53 <p>Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjelaskan, bahwa advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun non-litigasi. Jadi, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban <em>an sich</em> namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (<em>social contribution and social liability</em>) dalam kaitannya dengan kedudukan advokat sebagai <em>officium nobile</em> atas kewajiban pemberian bantuan hukum secara prodeo. Menurut pendapat beberapa ahli memberikan pengertian hak imunitas adalah hak imunitas advokat itu sebagai hak tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya. Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PUU-XI/2013 Tentang Advokat telah memperluas hak imunitas/perlindungan bagi advokat ketika menjalankan tugas profesinya tidak hanya di dalam persidangan, tetapi juga di luar persidangan Jo Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 7/PUU-XVI/2018 kepada iktikad baik, yakni berpegang pada Kode Etik dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, berdasarkan syariat Islam, hukum ditegakkan bagi siapa pun yang melanggar dan tidak pandang siapa pun yang bersalah. Semua orang dipandang sama di muka hukum sesuai dengan prinsip <em>equality before the law</em> dan <em>justice for all</em>. Upaya untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan tidak dikenal pilih kasih. Setiap orang yang bersalah mesti dikenai yang sesuai dengan tingkat kesalahannya. Demikian juga setiap orang yang merasa bersalah selalu menerima dengan ikhlas.</p> Ahyar Ari Gayo Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang Terlibat Tindak Pidana ditinjau dari Aspek Etika dan Supremasi Hukum https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/58 <div class="article-inpost"> <div class="row"> <div class="col-md-7"> <div class="text-content">Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan abdi negara dan masyarakat. Berkenaan dengan kehidupan di negara hukum maka dalam pelaksanaan tugasnya dan sebagai bagian dari masyarakat harus patuh dan taat dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila melakukan tindak pidana, sudah tentu akan mendapat sanksi, termasuk sanksi pidana. Hukuman paling berat bagi ASN yang melakukan tindak pidana adalah pemberhentian dari profesi ASN yang dituangkan dalam Pasal 247-250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Pada pelaksanaannya, terdapat pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda-beda di antara berbagai institusi pemerintahan. Salah satu problematikanya adalah dalam menentukan derajat suatu tindak pidana apakah berencana atau tidak berencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Pasal 247-250 dan menggali kemungkinan digunakannya pendekatan <em>restorative justice</em> terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melakukan tindak pidana dengan berencana atau tidak berencana.<br />Buku ini membahas lebih dalam bahwa terminologi tindak pidana dengan berencana dan tidak berencana menjadi masalah tersendiri dan sebaiknya menggunakan terminologi kesengajaan dan kelalaian atau memerlukan penjelasan resmi dalam produk perundang-undangan yang berlaku. Kemudian adanya keterlambatan penyampaian salinan putusan vonis hakim yang menyebabkan Pejabat Pembina Kepegawaian tidak dapat segera memberikan hukuman disiplin yang berimbas pada pegawai yang bersangkutan tetap menerima hak-haknya sebagai PNS. Hukuman non-penal melalui pendekatan <em>restorative justice</em> juga sangat mungkin untuk dilakukan terutama melalui pembentukan Majelis Kehormatan Etik bagi PNS.</div> </div> </div> </div> Suharyo Farikhah Yuni Syprianus Aristeus Yuliyanto Donny Michael Octaviana Siswanto Nugroho Nevi Anggraeni Raharjo Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Rekonstruksi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Infrastruktur demi Kepentingan Umum dalam Mewujudkan Kepastian Hukum https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/63 <p>Kegiatan pembangunan infrastruktur publik berkembang pesat sejalan dengan dinamika pembangunan nasional. Masalah tanah memang menjadi faktor utama dalam menentukan keberhasilan percepatan pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol Trans Jawa. Tulisan ini akan menjelaskan permasalahan dalam ranah normatif dan ranah praktis yang diperoleh dari fakta-fakta permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan perolehan tanah dalam rangka pembangunan jalan tol trans-jawa. Dalam sistem hukum modern, penyelesaian sengketa dilakukan oleh lembaga peradilan yang berkarakter mengadili dan memberikan keputusan, yang diharapkan adil. Mencermati mekanisne penyelesaian sengketa tanah serta hambatan yang berlangsung selama ini ,maka berbagai alternatif penyelesaian secara komprehensif perlu segera dikaji dan di kembangkan. Upaya penyelesaian sengketa tanah diluar pengadilan merupakan solusi penyelesaian dengan berlandaskan ketentuan normatif yang berlaku dengan tetap memperhatikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat atas tanah. Dalam perjalanan waktu, upaya untuk melembagakan kembali cara penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi, konsiliasi, dan yang lainnya telah dilakukan dengan memasukkannya dalam peraturan perundang-undangan. Persoalan yang menjadi sumber konflik atau sengketa lebih banyak terkait dengan hubungan keperdataan murni, yaitu antar individu anggota kaum atau suku. Permasalahan sengketa pertanahan menjadi sangat komplek karena tidak hanya terkait dengan permasalahan hukumnya saja namun juga dipicu oleh perubahan sosial dan politik yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dapat menggunakan cara-cara mediasi dalam hal penyelesaian sengketa pertanahan.</p> Evi Djuniarti Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Evaluasi atas Implementasi Permenkumham Nomor 40 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi Tahanan, Anak dan Narapidana di Rutan, LPKA dan Lembaga Pemasyarakatan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/71 <p>Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti ditemukan bahwa lmplementasi Permenkumham Nomor 40 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi Tahanan, Anak dan Narapidana di Rutan, LPKA dan Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya sudah dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Permenkum 40 Tahun 2017, namun masih ada hal-hal yang belum maksimal sesuai dengan ketentuasn peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan makanan bagi narapidana seperti belum terpenuhinya sesuai kandungan gizi, belum terpenuhi sarana prasarana pendukung dan lebih penting lahi belum terpenuhinya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam mengelola makanan. Menurut responden hal-hal tersebut terjadi karena masih terbatasnya anggaran mendukung pelaksanan penyelenggaraan makanan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan, dan juga pertambahan narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakat sulit untuk prediksi. Di samping itu juga, adanya perbedaan kebutuhan makanan pokok di setiap wilayah serta sulitnya mendapatkan bahan pokok menjadi kendala dalam penyelenggaraan pelaksanaan makanan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan di Indonesia.</p> Ahyar Ari Gayo Farikhah Yuni Nevey Varida Ariani Suharyo Okky Cahyo Nugroho Hilmi Ardani Nasution Muhaimin Edy Sumarsono Siswanto Budo Nugroho Nevi Anggraeni Raharjo Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Kearifan Lokal dan Penataan Ruang dalam Perspektif Hukum Nasional https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/76 <p>Terdapat korelasi yang erat antara masyarakat adat, kearifan lokal, dan jaminan hukum dalam penataan ruang di Indonesia. Bahwa ketika negara secara konstitusional mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, ternyata pada saat yang bersamaan pengakuan tersebut ditegaskan pula dalam berbagai peratutan perundang-undangan. Bahkan kedudukan masyarakat adat beserta kearifan lokal mereka diakui dalam hal strategis termasuk di antaranya dalam proses penataan ruang di daerah. Perlindungan Hukum terkait kearifan lokal dalam dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Dalam konteks perlindungan hukum kearifan lokal dalam penataan ruang maka kita dapat melakukannnya melalui mekanisme partisipasi masyarakat, esensinya adalah bahwa masyarakatlah pemilik kearifan lokal tersebut. Mekanisme serta jaminan hukum terkait partisipasi masyarakat pun diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait penataan ruang.</p> Eko Noer Kristiyanto Copyright (c) 2021 Eko Noer Kristiyanto https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Jalan Menuju Keadilan Korban Pelanggaran HAM yang Berat https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/51 <p>Mekanisme non-yudisial merupakan solusi lain yang sedang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Sebab, penyelesaian kasus melalui mekanisme yudisial dianggap belum memenuhi harapan mengingat waktu penyelesaiannya yang relatif lama. Riset yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM pada tahun 2021 menunjukkan bahwa upaya telah dilakukan di Provinsi Aceh dan Lampung untuk memulihan dan memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat, namun belum mencapai kondisi terbaik. Sebab belum semua korban pelanggaran HAM yang berat diakomodir hak-haknya. Untuk itu, diberikan rekomendasi kepada pengambil keputusan tentang cara penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang salah satunya disampaikan kepada Jaksa Agung yang perlu berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk mengambil keputusan bagaimana menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Selain itu, diajukan pula usulan kepada DPR untuk mengusulkan kembali kepada Presiden pembentukan pengadilan HAM <em>ad hoc</em>. Selanjutnya, pemerintah perlu merumuskan kebijakan untuk mengatur rencana-rencana khusus yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan mendorong adanya pemenuhan hak-hak kelompok tertentu, terutama korban pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dalam merealisasikan hak-haknya guna mencapai kesetaraan dan keadilan.</p> Penny Naluria Utami Yuliana Primawardani Tony Yuri Rahmanto Donny Michael Okky Chahyo Nugroho Ellen Lutya Putri Nugrahani Rodes Ober Adi Guna Pardosi Abi Marutama Destry Indra Wibawa Hakki Fajriando Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Menengok Kembali Problematika Penerapan Hukuman Mati dalam Konteks Hukum dan HAM https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/56 <p>Buku karya tulis ini semula merupakan sebuah laporan penelitian berjudul “Implementasi Kebijakan Hukuman Mati Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia 2021”<br />Substansi yang dibahas adalah tentang “Menengok Kembali Penerapan Hukuman Mati dalam Konteks Hukum dan HAM” menjadi bahan perdebatan panjang baik dikalangan praktisi, akademisi, masyarakat dan pengiat hak asasi manusia pada khususnya. Hal ini menjadi polemik pro dan kontra, di satu sisi di anggap sebagai pelanggaran HAM, namun di sisi lain di anggap sebagai penegakan HAM.<br />Pembahasannya mencakup hal-hal sebagai berikut:</p> <ul> <li>Gambaran Kondisi Implementasi Kebijakan Hukuman Mati;</li> <li>Kajian Teorits Problematika Hukuman Mati dalam Konteks Hukum dan Hak Asasi Manusia;</li> <li>Statistik dan Kebijakan Hukuman Mati;</li> <li>Perkembangan Diskursus Hukuman Mati, Konstitusionalitas Hak Asasi Manusia Terpidana Mati, dan Alternatif Pemidanaan;</li> <li>Kritisi Pihak Pro dan Kontra Kebijakan Regulasi Hukuman Mati versus Penerapan Hukuman Mati Atas Tindak Pidana yang dilakukan.</li> </ul> Firdaus Okky Chahyo Nugroho Oksimana Darmawan Nicken Sarwo Rini Rodes Ober Adi Guna Pardosi Nevi Anggraeni Raharjo Sari Puspitawaty Syprianus Aristeus Novia Swastika Sri Winarsih Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Dinamika Sistem Hukum Pemidanaan (Narkotika & Pencucian Uang) https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/61 <p>Tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, dan dalam kaitannya dengan kejahatan narkotika dikategorikan sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir dan mempunyai jaringan Internasional, sistem pemidanaannya belum ideal dan maksimal baik secara kualitas maupun kuantitas. Sistem pemidanaan terhadap tindak pidana pencucian uang dalam kaitannya dengan tindak pidana narkotika dalam sistem peradilan pidana; dan sistem pemidanaan yang ideal terhadap tindak pidana pencucian uang dalam kaitannya dengan tindak pidana narkotika dalam sistem peradilan pidana pada masa yang akan datang, masih menjadi permasalahan yang cukup pelik. Pengaturan sistem pemidanaan dalam tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana narkotika belum dirumuskan secara jelas dan rinci sebagai bagian utnuk menentukan batas pemidanaan (<em>the limit of sentencing</em>) dan penentuan bobot pemidanaan (<em>the level of sentencing</em>). Ketentuan dalam pemidanaan ini dipertegas dengan penentuan jenis-jenis sanksi yang memberikan alternatif bagi pengadilan untuk menentukan sanksi yang patut bagi pelaku berdasarkan tingkat kejahatan, kondisi pelaku dan keadaan-keadaan lainnya. Pidana penjara atau pencabutan kemerdekaan, meskipun masih sulit dihapuskan, juga mulai menjadi jenis sanksi yang dalam penerapannya lebih selektif. Namun masih diaturnya hukuman mati, yang banyak tersebar dalam beberapa delik, menjadi bagian yang lebih mengancam tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan meskipun dinyatakan sebagai salah satu sanksi pidana yang khusus. Sementara itu sanksi berupa tindakan, diatur lebih maju atau lebih baik dari pengaturan tentang berbagai sanksi tindakan yang saat ini diatur dalam hukum positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun undang-undang lainnya. Penetapan hukum mati bagi tindak pidana narkotika, meskipun ditempatkan pidana yang bersifat khusus dan dalam penerapannya dilakukan secara selektif, merupakan pidana yang tetap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagai landasan untuk menetapkan sanksi pidana. Hal ini juga terlihat dari masih adanya tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, namun tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana narkotika. Beberapa ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati, termasuk adanya kesadaran bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang sangat berat dan tidak akan dapat melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan, menunjukkan bahwa ada keragu-raguan untuk menerapkan hukuman mati.</p> Marulak Pardede Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM: Adaptasi Perubahan dan Strategi Sumber Daya Manusia https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/69 <p>Tata kelola pemerintahan secara efektif, efisien dan akuntabel menjadikan tantangan tersendiri bagi setiap instansi pemerintah. Tantangan tersebut dijawab dengan melakukan reformasi birokrasi serta penataan kelembagaan yang tepat fungsi, tepat ukuran dan tepat proses. Kelembagaan dinyatakan semakin efektif ditandai dengan menurunnya tumpang tindih kewenangan.<br />Pada kenyataannya pelaksanaan pengembangan SDM di Kementerian Hukum dan HAM dilakukan oleh dua unit kerja yaitu: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Sekretariat Jenderal melalui Bagian Pengembangan karier Pegawai. Hal ini menjadi permasalahan ketika masing-masing unit melaksanakan tugas dan fungsinya di mana diduga terdapat kegiatan yang tumpang tindih, sehingga akan sulit adanya kejelasan tentang pengembangan SDM Kementerian Hukum dan HAM. Kondisi yang demikian juga menjadi tantangan dengan memperhatikan heterogenitas tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM, di mana sebaran Satuan Kerja (Satker) di 33 provinsi hingga kabupaten dan kota serta jumlah SDM yang besar (sekitar 68.000 pegawai).<br />Berdasarkan hasil penelitian bahwa Kementerian Hukum dan HAM belum secara keseluruhan menyusun profil kompetensi para pegawai dan belum secara maksimal memanfaatkan hasil SJT serta hasil <em>assessment</em>. Dukungan sistem informasi pada prinsipnya Kementerian Hukum dan HAM telah memiliki sistem yang mumpuni, namun sistem yang ada ini belum dimanfaatkan secara baik dalam memilih, mengembangkan dan memposisikan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi dan berkinerja baik terhadap organisasi. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM perlu menyusun <em>Grand Design</em> manajemen SDM. Hal ini sangat penting untuk memberikan panduan serta arah dari kebijakan manajemen SDM. <em>Grand Design</em> ini dapat mencakup: Infrastruktur pengembangan kompetensi dan implementasi pengembangan kompetensi. Kementerian Hukum dan HAM perlu juga mengevaluasi kelembagaan di Biro Kepegawaian dan BPSDM.</p> Oki Wahju Budianto Okky Chahyo Nugroho Junaidi Abdillah Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Kesiapan Pelaksanaan Harmonisasi dan Sinkronisasi Perundang-Undangan pasca Terbentuknya Peraturan Omnibus Law dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/74 <p>Pemerintah telah mengambil alih model <em>omnibus law</em> dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Pengambilalihan model <em>omnibus law</em> sebagai bentuk simplikasi regulasi yang jumlahnya sudah <em>over regulation</em>, di mana regulasi tersebut saling bertentangan dan tumpang tindih sehingga menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Penyederhanaan regulasi baru pada tingkat undang-undang, di mana sekitar 80-an undang-undang yang ditarik tersebut memiliki aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah bahkan dijadikan pedoman dalam membentuk peraturan di daerah. Oleh karena itulah, ketentuan Pasal 181 UUCK memerintahkan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan UUCK, undang-undang lainnya maupun putusan pengadilan dan juga melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan daerah.<br />Pelaksanaan harmonisasi dan sinkronisasi menurut ketentuan tersebut harus diatur dalam sebuah peraturan pemerintah, yang saat ini masih berupa rancangan. Dalam konsep draft RPP Harsin ini pengujian terhadap regulasi yang masih eksis dilakukan oleh Pokja yang bersifat <em>ad hoc</em> dengan keanggotaan dari berbagai unsur-unsur. Ketentuan UUCK bukanlah regulasi khusus yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan, karena memang ada peraturan khusus dalam UU No.15 Tahun 2019 sebagai perubahan dari UU No. 12 Tahun 2011 (UUP3). Namun karena UUP3 tidak mengatur masalah harmonisasi dan sinkronisasi terhadap regulasi yang masih eksis, maka dibunyikanlah Pasal 181 UUCK berikut dengan peraturan pelaksanaannya.<br />Dalam setiap pembentukan regulasi wajib menyertakan fungsional perancang sebagaimana diamanatkan dalam UUP3 dan aturan pelaksanaannya termasuk dalam Pokja seperti yang ditentukan dalam RPP Harsin. Namun para perancang sepertinya belum terlalu memahami cara melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap regulasi yang masih eksis, karena kegiatan pengharmonisasian yang dilakukan selama ini semuanya masih dalam tahap rancangan. Oleh karena itu, penting dilakukan peningkatan kemampuan para perancang dalam bentuk pelatihan dengan materi metodologi pembentukan regulasi, sehingga diharapkan perancang dapat membantu penyusunan regulasi yang baik.</p> Henry Donald Lbn. Toruan Jamilus Taufik H. Simatupang Sujatmiko Maria Lamria Dian Nurcahya Radita Ajie Intan Puspa Sari Jody Imam Andana Wiyaka Putra Nadia Dwi Rachma Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Performativitas Hukum dan Hak Asasi Manusia Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer di Indonesia https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/80 <p>Dalam menyigi bekerjanya hukum atas gender dan seksualitas LGBT di Indonesia, buku ini mengadopsi dua kerangka metodologis, yakni metodologi <em>queer</em> dan hak asasi manusia secara interdisipliner. Menggunakan pendekatan performativitas hukum dan teori <em>queer</em> sebagai basis teoritik, bekerjanya hukum atas gender dan seksualitas LGBT di Indonesia diungkapkan ke dalam tiga komponen yang saling membentuk satu dengan yang lain, yakni: materialitas, praktik diskursif, dan keagenan. Materialitas gender dan seksualitas LGBT dipahami melalui makna semantik yang tertuang di dalam pertimbangan hukum para hakim di pengadilan. Sedangkan, praktik diskursif dan keagenan diperoleh dari dinamika iteratif atas intra-agensi, utamanya dalam proses peradilan. Pengungkapan ragam semantik dan praktik di dalam performativitas hukum akan mampu membuka ruang bagi praktik-praktik hak asasi manusia untuk membentuk aturan dan praktik hukum yang inklusif dan demokratis.</p> Arief Kurniawan Eldes Natalya Amin Salasa Yani Rachmawati Antonio Ginting Harison Citrawan Bintang Tambunan Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Analisa dan Evaluasi Program Pelatihan: Enam Komponen https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/45 <p>Berdasarkan investigasi awal diketahui bahwa, evaluasi program Pendidikan dan Latihan (Diklat) Fungsional Perancang tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya hanya didasarkan hasil penilaian dari peserta, evaluasi pengajar, evaluasi kinerja penyelenggara, evaluasi pasca diklat, dan evaluasi terhadap kurikulum. Hal tersebut menujukkan bahwa model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi Kirkpatrick yang memiliki 4 (empat) komponen yakni komponen <em>reaction</em>, komponen <em>learning</em>, komponen <em>behavior</em>, dan komponen <em>result</em>. Akan tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.73.KP.04.12 Tahun 2006 tentang Pendidikan dan Latihan Jabatan Fungsional Perancang, program diklat fungsional perancang memiliki 6 (enam) komponen yakni komponen perekrutan, komponen respon, komponen hasil belajar, komonen kebiasaan, komponen penempatan, komonen kinerja. Untuk itu terdapat dua komponen program diklat perancang yang belum terevaluasi oleh model evaluasi Kirkpatrick, yakni komponen perekrutan dan komponen penempatan. Untuk itu model evaluasi Kirkpatrick perlu dikembangkan atau dimodifikasi melalui penelitian dan pengembangan agar dapat digunakan untuk mengevaluasi dikat fungsinal perancang.<br />Sampai saat ini BPSDM Kemenkumham RI belum memiliki ‘model evaluasi’ yang efektif untuk mengevaluasi program diklat fungsional perancang. Efektif berarti berhasil guna. Dengan demikian ‘model evaluasi’ yang efektif adalah ‘model evaluasi’ yang dapat digunakan untuk mengevaluasi seluruh komponen program diklat perancang.</p> Rachmat Trijono Indah Harlina Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Pilkada Indonesia dalam Pusaran Pandemi: Tinjauan Kesiapan Masyarakat, Hukum dan Politik https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/54 <p>Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan yang cukup signifikan bagi seluruh dunia saat ini, tak terkecuali pada bidang politik, dan hal ini tentunya mempengaruhi berbagai aspek penting termasuk diantaranya adalah demokrasi yang ada di Indonesia. Belum selesai masalah kesehatan yang menjadi poin penting pondasi bangsa dan masalah ekonomi yang juga semakin mempersulit keadaan masyarakat saat ini. Masalah di bidang politik juga memuntut perhatian yang tidak kalah penting. Hal ini tidak terlepas dari adanya Pilkada langsung yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 bulan Desember 2020. Buku ini mencoba melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam pilkada pada masa Covid-19 melalui perkembangan pilkada di Indonesia mulai dari potret pilkada di Indonesia, pelaksanaan pilkada pasca pandemi Covid-19, perubahan ketentuan perundang-undangan dalam pelaksanaan pilkada pasca Covid-19. Kemudian bagaimana konsep partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, sehingga nantinya dapat menemukan modernisasi pemilihan umum di Indonesia melalui digitalisasi sistem pemilihan umum di Indonesia.</p> Muhar Junef Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/59 <p>Tujuan dibentuknya UU Kewarganegaraan adalah melaksanakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya, sebaliknya negara mempunyai kewajiban melindungi warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan negara serta perubahan global, pada kenyataannya di dalam kehidupan warga negara Indonesia terjadi pelepasan kewarganegaraan atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Menjadi pertanyaan apa faktor-faktor penyebab kehilangan kewarganegaraan Indonesia, dan bagaimana upaya untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia. Metode penelitian yuridis-empiris, dengan sifat penelitian deskriptif dan pendekatan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara garis besar ada 2 (dua) faktor penyebab kehilangan kewarganegaraan yaitu; dari pihak Negara/Pemerintah dan pihak Warga Negara Indonesia. Pihak Negara/Pemerintah belum terintegrasinya sistem pendataan WNI/WNA dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Sedangkan dari WNI itu sendiri karena kelalaian, tidak peduli, dan kurang pemahaman aturan kewarganegaraan. Dalam upaya untuk memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat kesulitan untuk memenuhi semua persyaratan bagi WNI yang kehilangan kewarganegaraanya untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia. Untuk mengoptimalkan pelayanan kewarganegaraan dalam rangka memberikan kemudahan akses dan perlindungan bagi WNI di dalam dan luar negeri, perlu pengintegrasian sistem data dan informasi Kewarganegaraan antara Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Kemudian perlu ditingkatkan sosialisasi baik secara langsung maupun melalui media berbagai platform untuk memberikan dan meningkatkan pemahaman hukum bagi Warga Negara tentang Kewarganegaraan. Untuk mengakomodir beberapa hambatan yang dialami oleh WNI yang ingin memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia, perlu dilakukan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia untuk diatur substansi terkait: aspek legalitas terhadap SAKE yang terkoneksi dengan sistem yang lainnya, peran Kementerian Dalam Negeri untuk menindaklanjuti Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri, dan persyaratan mendapatkan kembali kewarganegaraan.</p> Jamilus Endah Kartina Rachmat Trijono Evi Djuniarti Firdaus Muhaimin Citra Krisnawaty M. Fedian Esther Istianingrum Ulya Fajri Jody Imam Windi Kumoratih Ade Ruhanda Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Mediasi Solusi Penanganan Perkara Perdata dI Pengadilan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/64 <p>Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, ternyata pembangunan hukum dan peningkatan kualitas serta profesional aparat peradilan belum sanggup menciptakan kepastian hukum dan keadilan masyarakat, sehingga tujuan penggugat untuk menuntut haknya yang menurutnya dikuasai pihak lain dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan dirasakan sangat lama, mahal, berbelit-belit dan sulit menjadi kenyataan. Kritik yang muncul terhadap peradilan bukan hanya gejala yang tumbuh di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia. Di manapun juga hukum tidak dapat mengikuti setiap perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat hal ini berarti bahwa perubahan yang terjadi di dalam masyarakat lebih cepat daripada perubahan hukum. Pada hakekatnya semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Lembaga Mediasi bukanlah bagian dari lembaga litigasi oleh karena itu pada mulanya Lembaga Mediasi berada di luar Pengadilan. Namun sekarang ini Lembaga Mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah Pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapura mempunyai Lembaga Mediasi baik yang berada di luar maupun di dalam Pengadilan. Sekarang pertanyaan bagaimana dengan Indonesia.<br />Lembaga perdamaian merupakan salah satu lembaga yang sampai sekarang dalam praktik pengadilan telah banyak mendatangkan keuntungan baik bagi hakim maupun bagi pihak-pihak yang berperkara. Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan Majelis Hakim itu harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang berperkara secara tuntas, dan harus betul-betul mengakhiri sengketa secara keseluruhan dan diharapkan tidak timbul persoalan yang sama di kemudian hari. Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi Terdapat banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara umum terdapat 6 (enam) tugas seorang mediator.<br />Banyak faktor penghambat tercapainya mediasi di pengadilan karena para pihak tidak mau berdamai, minimnya pengetahuan hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator, substansi pengaturan mediasi di pengadilan yang masih lemah, kewajiban sertifikasi bagi hakim untuk melaksanakan proses mediasi, jangka waktu yang tidak mencukupi, tidak adanya ruangan khusus untuk mediasi, dan belum ada insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator. Perlu adanya pendidikan bagi hakim-hakim di daerah terpencil mengenai keberadaan mediasi ini, sebab di era globalisasi yang terjadi saat ini, bagi seorang hakim harus dapat memahami berbagai disiplin ilmu khususnya di bidang perdata maupun bisnis.</p> Evi Djuniarti Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Pengantar Hukum Kepailitan dan PKPU https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/72 <div class="article-inpost"> <div class="row"> <div class="col-md-7"> <div class="text-content">Hukum tentang kepailitan pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi. Pengundangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Kepailitan dan PKPU telah membawa perubahan yang signifikan dalam hal prosedur beracara untuk perkara kepailitan. Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, Faillissementverordening (Staatsblad 1905-217) berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, bahwa "segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini", maka seluruh perangkat hukum yang ada termasuk <em>Faillissementverordening (Staatsblad 1905-217)</em> diteruskan berlakunya sehingga menjadi ketentuan: <em>Faillissementverordening (Staatsblad 1905-217 juncto Staatsblad 1906-348)</em> yang disebut "Peraturan Kepailitan". <br />Sebagai akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya terhadap masalah utang piutang dikalangan dunia usaha nasional, maka penyelesaian yang cepat adalah sangat dibutuhkan untuk membantu mengatasi situasi yang tidak menentu dibidang perekonomian. Untuk mengatasinya Pemerintah telah mengeluarkan Perppu Nomor I Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 pada tanggal 9 September 1998 yang merupakan penyempurnaan <em>Faillissementsverordening Staatsblad</em> Tahun 1905 Nomor 217 <em>juncto Staatsblad</em> Tahun 1906 Nomor 348.<br />Dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan serta makin banyaknya permasalahan utang-piutang yang timbul dalam dunia usaha yang belum bisa diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, kembali ketentuan tersebut mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004.<br />Buku ini menggambarkan dan membahas hukum kepailitan dan PKPU di Indonesia yang saat ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Didalam buku ini diuraikan antara lain tentang sejarah kepailitan, pengertian kepailitan, asas-asas hukum kepailitan, akibat kepailitan maupun pihak pihak yang terlibat dalam suatu prosess kepilitan. Di samping itu buku ini juga berisi uraian proses Kepailitan dan PKPU, tujuan Kepailitan dan PKPU serta tujuan Kepailitan dan PKPU.</div> </div> </div> </div> Mosgan Situmorang Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Perlindungan Hak Cipta Buku di Era Digital https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/77 <p>Perubahan teknologi telah mengubah bentuk pembajakan dari <em>fotocopy</em> menjadi kegiatan <em>file sharing</em> yaitu mengunggah dan mengunduh buku secara ilegal serta penjualan secara ilegal melalui <em>marketplace</em>. Permasalahan yang diangkat adalah upaya perlindungan hak cipta dari buku di era digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, sedangkan data sekunder melalui peraturan perundang-undangan, hasil penelitian dan buku-buku serta literatur lainnya.<br />Berdasarkan analisis ditemukan bahwa terhadap aduan yang diajukan oleh penerbit dan pengarang dengan adanya penjualan secara ilegal di <em>marketplace</em>, telah ada upaya dari <em>marketplace</em>, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan menutup akun penjualan buku namun tindakan tersebut tidak dapat menjerat pelaku yang kemudian mengulangi pelanggaran yang sama. Yang menjadi kendala adalah tidak adanya filterisasi dari <em>marketplace</em> terkait barang yang memuat konten yang melanggar hak cipta, dan adanya batasan bagi <em>marketplace</em> untuk bertanggungjawab ketika dapat dibuktikan terjadinya kesalahan dan atau kelalaian dari pihak pedagang atau pengguna platform. Berdasarkan hasil analisis maka disarankan perlu untuk memasukkan materi muatan karya literasi digital dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; memasukkan ketentuan dalam rancangan Peraturan Menteri terkait Penarikan, Penghimpunan, dan Distribusi Royalti atas Penggunaan Karya Literasi Digital; menyempurnakan sistem <em>database</em> buku; dan melakukan sosialisasi dan literasi secara berkala dalam penegakan hak cipta buku digital.</p> Josefhin Mareta Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Ekspektasi Pemangku Kepentingan dalam Rezim Kekayaan Intelektual yang Responsif https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/42 <p>Kehadiran buku ini telah berhasil mengangkat keberadaan <em>stakeholder</em> KI di Indonesia karena rezim KI tidak saja keberadaan DJKI secara kelembagaan, terhadap pelindungan KI di Indonesia, namun <em>stakeholders</em> turut andil dan menjadi bagian dalam pengelolaan dan pengembangan rezim KI guna memperkuat pembangunan nasional dalam kerangka hukum responsif. Buku ini menjadi pengantar agar mendapatkan pemahaman bersama terhadap gap yang terjadi dari pemangku kepentingan KI di Indonesia dengan DJKI sebagai pelaksana Undang-Undang di bidang KI, yang ditujukan sebagai institusi yang responsif dalam pengelolaan KI, pada gilirannya dapat diterapkannya strategi yang lebih komprehensif dalam pengeloaan rezim KI nasional.</p> Oksimana Darmawan Harison Citrawan Nizar Apriansyah Arief Kurniawan Nicken Sarwo Rini Amin Salasa Dewi Analis Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Implementasi Tugas dan Fungsi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/52 <p>Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang salah satu pasalnya mengatur tentang proses pengharmonisasian, dalam ketentuan Pasal 58 ayat (2) menyebutkan bahwa pengharmonisasian Ranperda Provinsi dari gubernur dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan dan Pasal 63 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan peraturan daerah kabupaten/kota". Dan ditegaskan kembali dalam Pasal 99A bahwa "Pada saat pembentukan kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan belum terbentuk, tugas dan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan tetap dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum yakni Kemenkumham. Akan tetapi, prakteknya banyak daerah yang melewatkan tahap pengharmonisasian ini dengan alasan keterbatasan anggaran dan pengharmonisasian menjadi tidak efektif karena dilakukan sebelum tahapan pembahasan bersama tingkat pertama dengan DPRD. Fakta lapangan menunjukkan bahwa upaya keterlibatan perancang Kanwil Kemenkumham hanya untuk “menggugurkan kewajiban” saja. Dalam hal ini pengetahuan perancang terhadap rancangan Perda dimanfaatkan sebagai narasumber atau sebagai tenaga pengkoreksi rancangan yang sudah disusun. Sedangkan upaya pengharmonisasian yang terkadang belum melalui Kanwil Kemenkumham.</p> Donny Michael Oksimana Darmawan Yuliana Primawardani Ellen Lutya Gunawan Wibisono Abi Marutama Destry Indra Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Implementasi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Revitalisasi Penyelenggaran Pemasyarakatan https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/57 <p>Fenomena <em>overcrowded</em> yang terjadi di Lapas dan Rutan, membuat Kementerian Hukum dan HAM <em>c.q</em> Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan kebijakan revitalisasi pemasyarakatan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 35 Tahun 2018. Langkah ini sebagai upaya untuk mewujudkan konsep pemasyarakatan agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan sebagai suatu proses yang bertujuan pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, yang terjalin antara individu terpidana dan masyarakat, agar menjadi “manusia seutuhnya” menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.<br />Buku ini menguraikan tentang implementasi kebijakan revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan, sehingga setelah diuraikan progress implementasi tersebut, Penulis menyimpulkan beberapa strategi yang dapat mengoptimalkan kebijakan revitalisasi pemasyarakatan. Semoga strategi yang telah dituangkan dalam rekomendasi hasil penelitian dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam mengambil mengoptimalkan kebijakan revitalisasi pemasyarakatan. Buku ini dapat dijadikan bahan bacaan bagi pemangku kepentingan maupun bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih lanjut terkait revitalisasi pemasyarakatan.</p> Yuliyanto Siswanto Budi Nugroho Ulang Mangun Sosiawan Oki Wahju Budijanto Muhaimin Octaviana Farikhah Yuni Susilowati Nevi Anggraeni Raharjo Soleh Joko Sutopo Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Dialektika Hukum Kontrak dan Perlindungan Konsumen Bisnis On-Line https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/62 <p>Ketentuan hukum, tidak dapat dilepaskan dari praktek kegiatan bisnis sehari-hari. Kalangan masyarakat pelaku bisnis senantiasa bersentuhan dengan berbagai ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan bisnis. Kesepakatan-kesepakatan para pelaku bisnis harus dituangkan dalam kontrak, perjanjian yang kadangkala sering menimbulkan perbenturan kepentingan para pihak disana-sini. Dalam kaitan tersebut, penulis menguraikan segi-segi hukum kontrak di Indonesia. Materi muatan buku ini, antara lain: Ketentuan Hukum mengenai kontrak, perjanjian dalam pelaksanaan bisnis sehari-hari, yang antara lain menguraikan tentang: Fungsi dan Peranan Hukum, Pembangunan Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Hukum Ekonomi Internasional dan Eksistensi Hukum Kontrak dan Perkembangan Masyarakat; Pengertian Asas-Asas Hukum, Asas-asas Hukum Perikatan; Kebebasan berkontrak dalam perikatan; Aspek hukum perikatan dan perlindungan konsumen dalam bisnis komersial di Indonesia; Aspek hukum kontrak internasional yang terdiri atas Prinsip-prinsip Dasar Kontrak<em>; Convention on the International Sale of Goods</em> (CISG); perbuatan hukum dalam internet; alat bukti elektronik; kejahatan komputer; <em>cyber law</em>, <em>e-commerce</em>, dan lain-lain.</p> Marulak Pardede Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Perlukah Hak Prerogatif Presiden (Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi) diatur dengan Undang-Undang https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/70 <div class="article-inpost"> <div class="row"> <div class="col-md-7"> <div class="text-content">Buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan menganalisis permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan hak prerogatif presiden dalam bidang Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi (GAAR) serta mengelaborasi muatan materi akan diatur. Pengaturan yang ada saat ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya masih adanya multi tafsir terhadap pasal-pasal tertentu sehingga belum memunculkan keseragaman dalam menerapkan pasal yang dimaksud oleh para aparat penegak hukum serta pengaturan terhadap pasal-pasal tertentu dinilai belum komprehensif termasuk dalam mekanisme pelaksanaanya. Hal yang demikian menyebabkan Presiden sebagai pemilik hak mengalami kesulitan atau mendapat sorotan oleh masyarakat ketika dihadapkan dengan permohonan yang berkenaan dengan GAAR. Selain itu, DPR juga kesulitan memberikan pengawasan akibat dari ketidakpastian regulasi. Berdasarkan hasil temuan dan analisis yang dilakukan ditemukan sejumlah permasalahan yang mengemuka dalam pelaksanaannya serta dipandang perlu dibentuk dasar hukum tersendiri melalui Rancangan Undang-Undang GAAR dalam rangka implementasi dan penguatan hak prerogratif presiden sebagaimana diatur UUD NRI 1945 pasca amandemen, supremasi HAM, faktor kebutuhan hukum masyarakat, kepentingan negara, faktor ambivalensi dan harmonisasi pengaturan UU mengenai GAAR dalam berbagai regulasi terkait. Adanya kekosongan hukum UU amanesti, abolisi Rehabilitasi karena telah kadaluarsanya keberadaaan UU Amnesti dan Abolisi (UU No.54/1954) yang sudah tidak sejalan dengan spirit UUD 1945 pasca amandemen. Pengintegrasian pengaturan kedalam satu kitab hukum yakni RUU GAAR akan diarahkan sebagai payung hukum utama bagi Presiden dalam menjalankan dan menggunakan hak Prerogatif secara non diskrimintaif, efektif dan berkeadilan sesuai spirit Pancasila dan UUD.</div> </div> </div> </div> Nevey Varida Ariani Tony Yuri Rahmanto Sujatmiko Sujatmiko Mosgan Situmorang Nadia Dwi Rahma Maria Lamria Dian Nurcahya Intan Puspa Sari Andana Wiyaka Putra Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Evaluasi Dampak Pelatihan Teknis Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Terhadap Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/75 <div class="article-inpost"> <div class="row"> <div class="col-md-7"> <div class="text-content">Buku ini berisikan hasil evaluasi terhadap dampak Pelatihan Teknis Sistem Peradilan Pidana Anak yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM dalam menunjang kinerja aparat penegak hukum ketika menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam melakukan evaluasi tim pelakukan penelitian lapangan dengan mengambil 3 (tiga) lokus yaitu Cirebon, Bali, dan DKI Jakarta, selain itu juga dilakukan <em>Focus Group</em> <em>Discussion</em> dengan menghadirkan para alumni peserta diktat SPPA tersebut yaitu Angkatan 52, 56, 57, dan 58 untuk mendapatkan persepsi mereka terkait dengan kebermanfaatan Diktat SPPA dalam menunjang kinerja para aparat penegak hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Data tersebut kemudian disandingkan dengan data kasus ABH di wilayah tersebut dan jumlah kasus yang berakhir dengan diversi. Hal ini untuk memberikan gambaran objektif terkait dengan dampak Diktat SPPA dalam menunjang kinerja APH dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Dari hasil penelitian yang dilakukan tim memberikan beberapa rekomendasi sebagaimana tertuang di dalam bagian penutup buku ini kepada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM sehingga diktat SPPA yang dilakukan ke depannya dapat lebih optimal meningkatkan pengetahuan, meningkatan keterampilan dan membagun kesatuan dan keterpaduan di antara aparat penegak hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.</div> </div> </div> </div> Ulang Mangun Sujatmiko Marulak Pardede Willy Wibowo Diana Yusyanti Ali Subroto Suprapto Nadia Dwi Rachma Maria Lamria Dian Nurcahya Andana Wiyaka Putra Intan Puspa Sari Fuzi Narindrani Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Pengendalian Peredaran Narkotika pada Lapas atau Rutan dalam Perspektif Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pegawai https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/81 <p>Pengendalian narkoba adalah suatu upaya yang dilakukan oleh suatu lembaga untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba serta mengaja masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang telah ditetapkan/di berlakukan. Lapas atau Rutan merupakan tempat yang dinilai paling aman dan nyaman untuk mengkonsumsi dan mengendalikan bisnis gelap narkotika, artinya narkoba dikendalikan dari dalam Lapas atau Rutan. Penulisan buku ini mencoba menjabarkan konsep dasar pengendalian peredaran narkoba sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menyodorkan paradigma baru untuk melakukan pengawasan dan perlindungan bagi warga binaan pemasyarakatan dan pegawai. Dari perspektif WBP menujukan bahwa para WBP mengakui adanya peredaran narkotika dan dikendalikan dari dalam Lapas/Rutan, peredaran ini terutama terjadi di Lapas/Rutan umum. Namun ketika dipindahkan ke Lapas khusus maka tidak ada lagi narkoba yang beredar di dalam Lapas. Namun demikian upaya pihak luar untuk memasukkan narkoba ke Lapas khusus tetap terjadi, akan tetapi bukan untuk diedarkan namun dikonsumsi secara pribadi. WBP di Lapas khusus yang menjadi lokus di Jakarta, Bali, Nusa Kambangan menunjukan bahwa mereka bisa dipastikan telah bersih dan menjalani upaya rehabilitasi, namun demikian WBP di Lapas/Rutan umum masih banyak yang masuk dalam kondisi ketergantungan sehingga menjadi segmen pasar yang potensial bagi para pengedar narkoba. Dari perspektif pegawai, secara normatif para pegawai cenderung menyangkal jika telah terjadi peredaran narkoba di dalam Lapas/Rutan, argumentasi mereka bahwa para pegawai telah melaksanakan tugas dengan baik dan sesuai prosedur. Jika ternyata ada temuan kasus pengendalian narkoba dari Lapas/Rutan yang berawal dari pengembangan pihak Kepolisian atau BNN dan melibatkan pegawai maka pegawai yang bersangkutan (terlibat) akan disebut oknum. Oleh karena itu dalam upaya memperkecil tingkat penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan perlu dilakukan penanganan yakni penanganan dengan penindakan dan penanganan dengan model terapi rehabilitasi.</p> Muhar Junef Rachmat Trijono Eko Noer Kristiyanto Endah Kartika Citra Krisnawaty Esther Istianingrum Jody Imam Ulya Fajri Rizky Bagus Narya Trijono Windi Kumoratih Ade Ruhanda M. Fedian Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Masa Berlaku Paspor 10 Tahun di Indonesia: Risiko dan Upaya Mitigasi bagi Direktorat Jenderal Imigrasi https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/48 <div class="article-inpost"> <div class="row"> <div class="col-md-7"> <div class="text-content">Perkembangan migrasi global yang bergerak dinamis, menyebabkan sejumlah negara menerapkan kebijakan masa berlaku paspor lebih lama tak terkecuali Pemerintah Indonesia yang pada bulan September tahun 2020 menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2020 di mana salah satu ketentuannya dalam Pasal 51 ayat (1) merubah masa berlaku paspor biasa menjadi paling lama 10 tahun. Meskipun demikian masa berlaku yang lebih lama tidak serta merta memberikan kepuasan pelayanan publik bagi masyarakat namun ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi Ditjen Imigrasi terhadap aturan tersebut dalam penerapannya. Oleh karenanya tulisan ini hendak mendeskripsikan pertama, identifikasi risiko terhadap kebijakan masa berlaku paspor paling lama 10 tahun; dan kedua, menawarkan upaya mitigasi (pengendalian) risiko terhadap kebijakan masa berlaku paspor paling lama 10 tahun yang dapat dituangkan dalam aturan turunan yang lebih teknis. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kebijakan dengan sifat deskriptif-analitis yang menggunakan metode wawancara melalui <em>Focused Group Discussion</em> (FGD) kepada para pemangku kepentingan terkait serta didukung oleh studi kepustakaan. Adapun lokus yang dituju meliputi 9 (sembilan) provinsi yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, dan. Tulisan ini dapat menarik minat pembaca karena menunjukkan 7 (tujuh) risiko dengan beragam profil risiko (rendah hingga sangat tinggi) yang perlu menjadi perhatian pembuat kebijakan dalam hal ini Ditjen Imigrasi jika akan menerapkan masa berlaku paspor biasa paling lama 10 tahun. Beberapa langkah mitigasi yang dituangkan secara analitis dan rekomendasi dalam tulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi Direktorat Jenderal Imigrasi dalam mengantisipasi risiko yang tergambar sehingga kebijakan yang dimaksud dapat berjalan efektif dan efisien bagi masyarakat sebagai penerima layanan publik.</div> </div> </div> </div> <div class="contact-form-box"> </div> Tony Yuri Rahmanto Penny Naluria Utami Haryono Agus Setiawan Ahmad Fathony Ai Solihah Febri Battyanan Amin Salasa Yani Rachmawati Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27 Pemberdayaan Kelompok Perempuan Marjinal dalam Pemenuhan Hak Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19 https://bpress.balitbangham.go.id/index.php/balitbangkumhampress/catalog/book/55 <div class="article-inpost"> <div class="row"> <div class="col-md-7"> <div class="text-content">Dampak Pandemi <em>Corona Virus Disease 2019</em> (COVID-19) merubah dan mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan masyarakat di berbagai negara tak terkecuali di Indonesia. Di antara berbagai aspek yang terkena dampak, aspek ekonomi dan sosial dinilai menjadi aspek yang sangat terpengaruh dan layak untuk diamati. Hasil penelitian yang menjadi dasar penulisan <em>policy brief</em> ini memfokuskan kepada perempuan kelompok marjinal dikategorikan sebagai perempuan yang bekerja di sektor informal yaitu sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga atau kepala keluarga. Dalam konteks pandemi PRT menjadi kelompok yang rentan dan termarjinalkan sehingga perlu dilindungi karena diamanatkan dalam Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 meskipun Indonesia belum meratifikasinya. Sama halnya perempuan kepala keluarga berasal dari masyarakat menengah ke bawah dan berpendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan mereka umumnya bekerja di sektor informal seperti buruh tani pedagang kecil dan pekerja rumah tangga. Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam pemenuhan hak ekonomi bagi kelompok perempuan di masa pandemi Covid-19 dilakukan secara bertahap yaitu: penyelamatan tahun untuk tahun 2020 dan 2021 secara bertahap, untuk tahun 2022 melakukan pemulihan ekonomi 2022, dan pernormalan dilakukan Tahun 2023. Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) mengupayakan bantuan sesuai kebutuhan di lokasi masing-masing atas permintaan masyarakat kelompok perempuan berdasarkan hasil Musrembang ditingkat Desa ditindaklanjuti di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Masih ditemui kendala dalam memberikan bantuan terutama Perempuan Pekerja Rumah Tangga yang belum banyak mendapatkan bantuan, tentunya harus didukung akurasi data terkini sehingga bantuan tersebut sampai kepada yang membutuhkan dan tidak ada skala prioritas bagi kelompok perempuan tertentu. Kendala lainnya yang dihadapi perempuan yaitu masih terdapat stigma bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi, kesempatan yang sama dengan laki-laki hingga fungsi perempuan adalah sebagai pelengkap dari kepala keluarga saja.</div> </div> </div> </div> Okky Chahyo Nugroho Firdaus Penny Naluria Utami Tony Yuri Rahmanto Dewi Analis Indriyani Sabrina Nadilla Rodes Ober Adi Guna Pardosi Yuditia Nurimaniar Ardyan Gilang Ramadhan Hidayat Yasin Copyright (c) 2021 Balitbangkumham Press https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 2021-12-27 2021-12-27